This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 31 Desember 2023

Dalil Orang yang Haidl Wajib mengqadla' Puasa Wajib yang Ia Tinggalkan selama Haidl

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ (49)*


Dalil Orang yang Haidl Wajib mengqadla' Puasa Wajib yang Ia Tinggalkan selama Haidl


عن عائشة رضي الله عنها قالت: كُنَّا نُؤمَرُ بقضاء الصوم ولا نُؤمَر بِقَضاء الصّلاة. رواه مسلم

Dari Sayyidah Aisyah -semoga Allah meridlainya- beliau berkata: "Kita diperintahkan untuk mengqadla' puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadla' shalat." (H.R. Muslim)


Perkataan beliau كنا نؤمر (kita diperintahkan) memberikan makna bahwa Rasulullah _shallallahu 'alayhi wasallam_ memerintahkan hal tersebut.

Dalil bahwa seorang yang haidl ketika meninggalkan puasa wajib mengqadla'nya tetapi tidak wajib mengqadla' shalat adalah karena puasa tidak diulang ulang dalam satu tahun, berbeda halnya dengan shalat. Maka mengqadla' puasa tidak akan memberatkannya.


Hadits ini dalil bahwa qadla' perkara wajib dengan perintah baru, dan ia tidak diperintahkan untuk puasa di kala haidl karena haram bagi seorang perempuan yang haidl berpuasa secara ijma'. Maka bagaimana mungkin diperintahkan untuk puasa.

Juga terdapat pendapat bahwa qadla itu wajib karena perintah pertama (ketika diwajibkan baginya puasa). Sehingga dia (seorang yang haidl) diperintahkan juga untuk puasa ketika haidl akan tetapi dimaafkan dalam mengakhirkan puasa dikarenakan haidl, karena kalau tidak wajib puasa ketika haidl maka tidak akan wajib mengqadla'nya seperti shalat.

Maka diwajibkannya puasa atasnya ketika haidl itu seperti halnya orang yang hadats ketika diwajibkan baginya shalat walaupun tidak sah baginya shalat ketika sedang hadats. Akan tetapi hal ini dijawab bahwa kondisi orang yang haidl dengan orang yang berhadats berbeda. Seorang yang berhadats bisa menghilangkan hadatsnya sedangkan orang yang haidl tidak bisa.


Pendapat yang mengatakan bahwa dia diperintahkan juga puasa ketika haidl tidak berarti bahwa boleh baginya berpuasa dalam keadaan haidl.


Hadits ini dalil bahwa perintah dan larangan syariat itu merupakan sebuah hujjah dan tidak diharuskan untuk mengetahui hikmahnya.

Kita wajib menjalankan perintah syariat baik kita mengetahui hikmahnya ataupun tidak. Kita percaya bahwa pasti ada hikmahnya walaupun kita tidak mengetahuinya dan tidak diwajibkan bagi kita untuk mencaritahu hikmahnya.

Sabtu, 30 Desember 2023

Wajib Wudhu setiap akan shalat bagi Perempuan Yang masa Istihadlah

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ (48)*

Dalil Bahwa Orang yang Istihadlah Wajib Wudlu Setiap Akan Shalat

عن عائشة رضي الله عنها أنّ أمَّ حَبِيبَة بنتَ جَحشٍ رضي الله عنها شَكَت إِلَى النَّبي صلى الله عليه وسلم الدم فقال: امكثِي قدرَ ما كانت تَحبِسُك حَيضتُك ثم اغتَسِلي وتوضَّئِي لكل صَلاةٍ فكانت تغتسل لكل صلاة. رواه البخاري

Dari Aisyah -semoga Allah meridlainya- bahwasanya Ummu Habibah binti Jahsy mengadu kepada Rasulullah _shallallahu 'alayhi wasallam_ tentang darah istihadlah (yang keluar terus menerus) lalu Rasul bersabda (maknanya): "Tetaplah (berpedoman) pada jumlah hari haidl sesuai adat kebiasaanmu, kemudian mandilah (setelah mencapai jumlah hari kebiasaan haidl tersebut) dan berwudlulah setiap kali shalat (karena darahnya terus menerus keluar)." Maka Ummu Habibah mandi setiap kali shalat". (H.R. Al Bukhari)


Ummu Habibah mandi setiap hendak shalat adalah bentuk kehati-hatian karena yang wajib atasnya adalah wudlu setiap shalat, bukan mandi, walaupun mandi sudah bisa mencakup wudlu. Berarti beliau mandi setiap shalat bukan karena diperintahkan oleh Rasulullah.

Hadits ini menunjukkan bahwa Ummu Habibah tidak _mumayyizah_ (sehingga bisa menghukumi yang kuat adalah haidl) karena Rasulullah memerintahnya untuk kembali ke kebiasaan jumlah haidlnya.

Adapun hadits yang menyatakan bahwa Nabi memerintahnya mandi setiap akan shalat itu adalah dla'if. Akan tetapi kalau ditaqdirkan keshahihannya (diperkirakan sebagai shahih) maka dapat dipahami bahwa Ummu Habibah lupa kebiasaan waktu dan ukuran haidlnya.

Jumat, 22 Desember 2023

Dalil Bahwa Tayammum Dikhususkan bagi Umat Nabi Muhammad

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ (47)*

Dalil Bahwa Tayammum Dikhususkan bagi Umat Nabi Muhammad 


عن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: أُعطِيتُ خمسا لم يُعطَهُنَّ أَحَدٌ قَبلِي نُصِرتُ بالرُّعبِ مَسيرَةَ شَهرٍ وجُعلَت لِيَ الأرضُ مَسجِدًا وطَهُورا فَأيُّما رَجلٍ من أمتي أدركته الصلاة فليصل وأحلت لي الغنائم ولم تحل لأحد قبلي وأعطيتُ الشفاعة وكان النبي يبعث إلى قومه خاصة وبعثت إلى الناس عامة. رواه الشيخان

Dari Jabir bin Abdullah -semoga Allah meridlai keduanya- berkata: "Rasulullah _shallallahu 'alayhi wasallam_ bersabda: "Saya telah diberikan lima hal yang tidak diberikan kepada para nabi sebelumku: (1) aku ditolong dengan rasa ketakutan yang dirasakan oleh musuh (Rasul berada dalam kejauhan akan tetapi lawan sudah takut), (2) dijadikan untukku bumi ini sebagai masjid yang suci, siapa saja dari umatku mendapati waktu shalat maka hendaklah ia shalat, (3) dibolehkan untukku mengambil _ghanimah_ (rampasan perang dari orang kafir) dan tidak diperbolehkan (untuk diambil) bagi nabi-nabi terdahulu, (4) aku diberi syafa'at (yang khusus bagiku), (5) dulu para nabi diutus untuk kaumnya saja, akan tetapi aku diutus untuk manusia secara umum (bahkan diutus untuk jin juga). (H.R. al Bukhari dan Muslim)

Hadits ini tidak menafikan hadits lain yang menyebutkan bahwa Nabi diberikan enam kekhususan dan hadits yang menyebutkan bahwa Nabi diberikan tiga kekhususan. Sebab ada kemungkinan bahwa Nabi awal mulanya diberi kekhususan sedikit kemudian beliau mengabarkan hal tersebut dan setelah itu diberikan tambahan kekhususan dan beliau mengabarkannya. Atau sebaliknya, awal mulanya diberikan banyak kekhususan kemudian mengabarkannya, dan setelah itu, beliau mengabarkan sebagian kekhususannya tersebut. Semua ini dilandasi bahwa penyebutan jumlah bukan untuk pembatasan.


Hadits ini menunjukkan boleh shalat di mana saja, baik di masjid atau di tempat lain asalkan tidak ada hal yang menghalangi keabsahannya, seperti adanya najis. Adapun para nabi sebelum Nabi Muhammad hanya diperbolehkan shalat di tempat-tempat khusus.


Hadits ini adalah dalil bahwa dikhususkan bagi umat Nabi Muhammad tayammum karena tanahnya dapat dijadikan untuk bersuci (tayammum). Ini bukan berarti bahwa tanah umat sebelum Nabi Muhammad tidak suci.


Nabi Muhammad boleh mengambil ghanimah, sedangkan umat terdahulu tidak diperbolehkan. Sebagian nabi-nabi terdahulu dilarang untuk memerangi orang kafir sehingga tidak ada ghanimah. Sebagian nabi yang lain dihalalkan untuk berperang melawan orang kafir akan tetapi jika mendapatkan ghanimah, akan datang api ke ghanimah tersebut lalu membakarnya. Maka tidak diperbolehkan bagi mereka untuk memilikinya.


Nabi Muhammad diberikan syafa'at yang khusus baginya. Al Imam an-Nawawi menyebutkan lima syafa'at bagi Nabi: (1) Asy-Syafa'at al 'Uzhma untuk menyelamatkan orang-orang ketika matahari didekatkan, (2) syafa'at untuk menyelamatkan orang-orang sehingga masuk surga tanpa _hisab_, (3) syafa'at untuk menyelamatkan orang-orang yang seharusnya masuk neraka sehingga tidak jadi memasukinya, (4) syafa'at untuk meyelamatkan orang-orang yang sudah masuk neraka agar keluar dari neraka dan masuk surga, dan (5) syafa'at untuk menaikkan derajat seseorang (ini berdasarkan pendapat yang mengatakan bahwa syafa'at tidak khusus bagi pelaku dosa besar).


Perlu diketahui bahwa Nabi memiliki kekhususan yang sangat banyak. Adapun penyebutan jumlah pada hadits di atas tidak menafikan hal ini.

Kamis, 21 Desember 2023

Dalil mencari air untuk berwudhu sebelum langsung bertayammum

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ (46)*

Dalil Wajibnya Memindahkan Tanah ke Tangan Sebanyak Satu Kali dalam Tayammum serta Wajibnya Mencari Air sebelum Tayammum

عن أبي اليقظان عمار بن ياسر رضي الله عنهما بعثني النبي صلى الله عليه وسلم في حاجة فأجنبت فلم أجد الماء فتمرغتُ في الصَّعيد كما تَمرغُ الدابةُ ثم أتيت النبي صلى الله عليه وسلم فذكرت ذلك له. فقال: إنما كان يكفيك أن تقول بيديك هكذا. ثم ضرب بيديه الأرض ضربةً واحدة ثم مسح الشمال على اليمين وظاهر كفيه ووجهه. رواه الشيخان 

Dari Abu Yaqzhan Amar ibnu Yasir -semoga Allah meridlainya- Nabi _shallallahu 'alayhi wasallam_ mengirimku dalam sebuah keperluan lalu aku mengalami junub dan tidak menemukan air lalu aku berguling-guling di tanah seperti beguling-gulingnya hewan lalu aku datang kepada Nabi dan aku ceritakan hal tersebut kepadanya lalu beliau bersabda: "Sesungguhnya cukup bagi kamu (dalam tayammum ketika tidak mendapati air) untuk melakukan seperti ini pada tanganmu." Kemudian beliau meletakkan dua tangannya ke tanah (untuk memindahkan tanah) kemudian mengusap tangan kiri atas tangan kanan dan mengusap bagian luar (dari) dua telapak tangan beliau dan wajah beliau. (H.R. al Bukhari dan Muslim)


Hadits ini menjadi dalil bolehnya seseorang berijtihad ketika nabi masih hidup, karena Nabi tidak menyuruh Amar untuk mengulangi tayammumnya. Juga sebagai dalil bagi pendapat yang mencukupkan satu pukulan (memindahkan tanah ke tangan hanya satu kali ini merupakan pendapat ar-Rafi'i) dan pendapat yang mencukupkan mengusap kedua telapak tangan saja (akan tetapi pendapat yang masyhur adalah mengusap tangan sampai siku).


Adapun pendapat yang mengharuskan dua kali pulukan (dua kali memindahkan tanah) dan mengusap harus sampai siku adalah pendapat yang dikuatkan oleh al Imam an-Nawawi. Beliau mengambil dalil dari riwayat Abu Dawud dan al Hakim berikut:

التيمم ضربتان ضربة للوجه وضربة لليدين إلى المرفقين

"Tayammum itu dengan dua pukulan (dua kali memindahkan tanah): yang pertama untuk wajah dan yang kedua untuk dua tangan sampai siku."

Mereka juga berdalil mengusap sampai siku itu lebih cocok dalam tayammum yang merupakan pengganti wudlu.

Cukup menggunakan dua kali pukulan jika dapat meratakan tanah ke anggota tayammum. Kalau tidak, maka wajib menambah pukulan.

Dalam hadits, disebutkan pukulan, akan tetapi yang dimaksud itu adalah memindahkan tanah walaupun tanpa pukulan.

Al Imam an-Nawawi menjawab hadits Amar, bahwa meskipun itu hadits yang kuat untuk dijadikan sebagai dalil dan lebih dekat kepada sunnah akan tetapi yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah gambaran tayammum saja (gambaran memindahkan tanah) dalam rangka mengajari Ammar. Bukan maksud dari hadits tersebut menjelaskan semua yang harus dilakukan dalam tayammum.

Dalam hadits tersebut, didahulukan mengusap dua telapak tangan dari mengusap wajah, ini bukan menunjukkan _tartib_ (urutan) tayammum, karena lafazh wawu pada hadits tersebut tidak memberikan faidah _tartib_.


Hadits ini juga dalil wajibnya mencari air berdasarkan pada pernyataan Amar yang menafikan adanya air. Hadits ini juga sebagai dalil bahwa barangsiapa yang melakukan hal yang lebih dari yang diperintahkan maka itu sah, karena ketika Amar berguling-guling maka anggota tayammum sudah masuk pada perbuatannya tersebut, seperti seseorang yang punya hadats kecil dan hadats besar, lalu dia mandi wajib maka hadats kecilnya juga terangkat walaupun dia tidak berwudlu.

Jumat, 15 Desember 2023

Makruh mengeringkan badan setelah mandi wajib

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ (45)*

Dalil Dimakruhkannya _Tansyif_ (Mengeringkan Badan setelah Mandi Wajib dengan Kain) dan Disunnahkannya Wudlu sebelum Mandi Wajib

عن أم المؤمنين ميمونة رضي الله عنها قالت: وضع النبي وَضوء لجنابة فأكفأ بيمينه على يساره مرتين أو ثلاثا ثم تمضمض واستنشق وغسل وجهه وذراعيه ثم أفاض على رأسه الماء ثم غسل جسده ثم تَنَحَّى فغسل رجليه فأتيته بخرقة فلم يُرِدها وجعل يَنفُض المَاءَ بيده. رواه الشيخان.

Dari Ummu al Mu'minin Maimunah -semoga Allah meridlainya- berkata: "Rasulullah meletakkan air yang digunakan untuk wudlu dan mandi wajib kemudian beliau membalikkan wadah tersebut (untuk menyiramkan air) dengan tangan kanan atas tangan kiri kemudian berkumur dan menghirup air ke hidung lalu membasuh wajahnya dan kedua tangannya kemudian menyiramkan air ke kepalanya lalu membasuh tubuhnya kemudian setelah selesai dari hal tersebut, beliau membasuh kakinya lalu aku datang kepadanya dengan membawa kain akan tetapi beliau tidak menginginkannya lalu mengibas-ngibaskan air dengan tangannya." (H.R. al Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa disunnahkan untuk meninggalkan _tansyif_ (mengeringkan dengan kain atau sejenisnya selepas mandi wajib atau wudlu), karena juga dalam riwayat lain, beliau diberikan sapu tangan kemudian menolaknya dan mengibas-ngibaskan tangannya seraya berkata: "Begini caranya (dengan meletakan tangannya diatas lenganya yang lain kemudian mengibaskan airnya)."


Mengibaskan dengan tangan hukumnya boleh. Hal ini yang diunggulkan dalam kitab Majmu', yaitu bahwa mengibas-ngibaskan dengan tangan itu boleh (boleh ditinggalkan boleh dikerjakan).

Disunnahkan ketika meninggalkan kamar mandi untuk membasuh dua kaki, baik wudlunya disempurnakan sebelum mandi atau sesudahnya. Dalam hadist ini, tidak disebutkan mengusap kepala karena mengusap kepala telah disebutkan dalam hadits lain atau karena mencukupkan dengan menyiram kepala tanpa menyebutkan mengusap kepala.

Dalam hadits tersebut, disebutkan "تنحى". Ini adalah isyarah untuk mengakhirkan membasuh kedua kaki.

Disunnahkan untuk berwudhu secara sempurna (dengan membasuh kedua kaki) sebelum mandi wajib. Dikatakan juga bisa mengakhirkan membasuh kaki setelah mandi, hal ini berdasarkan hadits Aisyah bahwa beliau berkata bahwasanya Rasulullah wudlu dalam mandi seperti halnya wudhu untuk shalat. Kemudian al Bukhori menambahkan dalam riwayatnya, kecuali membasuh kaki, karena Nabi membasuhnya setelah mandi.

Di dalam kitab Majmu', dijelaskan bahwa para ulama menjelaskan baik mendahulukan wudhu secara sempurna atau mengerjakan sebagianya diawal, atau mengakhirkanya seluruhnya, atau mengerjakannya di tengah-tengah mandi maka semuanya menghasilkan sunnah mandi. Akan tetapi mendahulukan wudlu itu lebih utama. Dari sini, dapat dipahami bahwa perbedaan pendapat tersebut terletak pada mana yang lebih utama.

Sedangkan terkait niat wudlu, hal ini dapat disimpulkan sebagai berikut :

- Jika mengerjakan wudlu terlebih dahulu kemudian mandi dan dia memiliki hadats kecil maka dia berniat dalam wudlunya untuk menghilangkan hadats kecil. Jika ia tidak memiliki hadats kecil maka dia berniat dalam wudlunya untuk melaksanakan sunnah mandi.

- Jika mengakhirkan wudlunya setelah mandi maka dia berniat dalam wudlunya untuk mengerjakan sunnah mandi baik dia memiliki hadats kecil ataupun tidak.

Kamis, 14 Desember 2023

Kesunnahan mandi sebelum berangkat shalat jum'at

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ (44)*

Dalil Disunnahkannya Mandi sebelum Berangkat Shalat Jum'at

عن أبي سعيد سَمُرة بن جُندُب رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: مَن تَوضَّأ يوم الجمعة فَبها ونِعمَت ومَن اغتَسَل فَالغُسل أَفضَل. رواه الترمذي وحسنه

Dari Abu Said Samuroh ibnu Jundub -semoga Allah meridlainya- berkata: "Rasulullah _shallallahu 'alayhi wasallam_ bersabda: "Barangsiapa yang wudlu pada hari Jum'at maka ia telah mengambil kesunnahan dan itu adalah kebiasaan yang baik. Dan barangsiapa yang mandi (pada hari Jum'at) maka itu lebih utama." (H.R. at-Tirmidzi dan dinilainya hasan)


Dalam hadits ini, terdapat dalil disunnahkannya mandi bagi orang yang akan berangkat shalat Jum'at. Ini adalah sunnah yang muakkadah sehingga makruh untuk ditinggalkan.

Adapun hadits:

غسل الجمعة واجب على كل محتلم

"Mandi pada hari Jum'at wajib atas setiap orang baligh."

maka hadits ini dapat dimaknai dengan sunnah yang muakkadah pada orang yang ingin shalat Jum'at.


Waktu mandi Jum'at adalah mulai setelah terbitnya matahari. Lebih utama mandi ketika semakin dekat dari waktu berangkat ke masjid karena lebih mencapai tujuan yaitu menghilangkan bau badan ketika berkumpul dengan orang banyak.

Yang disebutkan di sini, yaitu sunnah mandi Jum'at bagi yang hendak shalat Jum'at adalah pendapat yang masyhur dalam kalangan para ulama. Akan tetapi ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa mandi Jum'at juga sunnah bagi yang tidak ingin berangkat shalat Jum'at

Senin, 04 Desember 2023

Dalil diwajibkan mandi wajib ketika sudah berhubungan suami istri

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ (43)*

Dalil Bahwa Jima' (Berhubungan Badan) Mewajibkan Mandi Walaupun Tidak Keluar Mani


عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: إِذا جَلس بَين شُعَبِها الأَربَع ثم جَهَدَها فَقَد وَجب الغُسلُ واِن لَم يُنزل. رواه الشيخان

Dari Abu Hurairah -semoga Allah meridlainya- berkata: "Rasulullah _shallallahu 'alayhi wasallam_ bersabda: "Jika seorang laki-laki menjima' istrinya maka wajib mandi walaupun belum keluar mani." (H.R. Al Bukhari dan Muslim)


Dalam menafsirkan perkataan nabi شعبها الأربع, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan maksudnya adalah tangan dan kaki, sebagian mengatakan paha dan kaki, sebagian mengatakan dua paha dan dua bibir farji, dan sebagian mengatakan empat bagian farji.


Ibnu Daqiq al 'Id memilih penafsiran pertama dan kedua karena itu lebih sesuai dengan kenyataan, yaitu duduk di antara keduanya.


Para ulama selain Ibnu Daqiq al 'Id memilih penafsiran keempat karena maksud dari hadits ini adalah menjelaskan maksud yaitu jima' (memasukkan dzakar ke farji), bukan hanya sekedar menjelaskan wasilah yaitu duduk. Sebab hanya dengan duduk saja tidak mewajibkan mandi. Selain itu juga untuk menjaga agar tercapainya tujuan yang dimaksud lebih utama dari hanya menjelaskan jalan mencapai tujuan.

 المُحافظة على المقاصد أَولى منها على الوسائل


Dalam hadits ini, dapat diambil dalil wajibnya mandi sebab jima'. Hal tersebut (jima' mewajibkan mandi) adalah dengan memasukkan kepala dzakar atau seukuran kepala dzakar bagi orang yang farjinya terpotong kedalam farji, baik farji tersebut milik orang yang hidup atau mati, orang dewasa atau anak kecil, baik farji manusia atau hewan, keluar mani ataupun tidak, baik dzakarnya dilapisi walaupun tebal ataupun tidak.

Minggu, 03 Desember 2023

Berwudhu sebelum melakukan hubungan suami istri

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ (42)*

Dalil Disunnahkannya Berwudlu setelah Jima' dan Ingin untuk Kembali Lagi (Jima')


عن أبي سعيد قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: إِذا أَتَى أحدُكم أهلَهُ ثُمَّ أَرَاد أَن يَعُود فَليَتَوَضّأ بَينَهُما فَإنَّه أَنشَطُ للعَودِ. رواه مسلم

Dari Abu Said beliau berkata: "Rasulullah _shallallahu 'alayhi wasallam_ bersabda: "Jika salah seorang laki-laki dari kalian menjima' istrinya kemudian ingin kembali untuk menjima'nya maka hendaknya dia berwudlu di antara keduanya (dua jima') karena itu lebih menyegarkan untuk kembali." (H.R. Muslim)


Asy-Syaikh Zakaria menjelaskan bahwa dalam hadist ini, diperintahkan untuk wudlu di antara dua jima', dan itu merupakan kesunnahan menurut mayoritas ulama berdasarkan hadits tersebut. Hal ini juga agar keluar dari pendapat yang mewajibkan hal tersebut, karena itu meringankan hadatsnya dengan mengangkat hadats dari anggota wudlu. Selain itu juga agar tidur dengan suci dari salah satu hadats (besar dan kecil) karena ditakutkan ia mati dalam tidurnya.


Berarti sesungguhnya apa yang disampaikan oleh asy-Syaikh Zakaria adalah anjuran berwudlu bagi orang yang habis jima' kemudian ingin kembali baik untuk jima' atau tidur. Akan tetapi karena alasan dari hal ini adalah agar ia tidur dalam keadaan sudah mengangkat hadats kecilnya. Berarti maksudnya adalah ketika setelah jima' dan ingin tidur maka dia berwudlu karena kalau mau jima' lagi niscaya wudlunya akan batal.

Sabtu, 02 Desember 2023

mandi wajib ketika keluar mani

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ (41)*

Dalil Bahwa Keluar Mani Mewajibkan Mandi


عن أبي سَعِيدٍ الخُدرِي رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: إِنَّما المَاءُ مِنَ المَاء. رواه مسلم

Dari Abu Said al Khudri -semoga Allah meridlainya- bahwasanya beliau berkata: "Rasulullah _shallallahu 'alayhi wasallam_ bersabda: "Wajib mandi dengan air ketika keluar air (mani)". (H.R. Muslim)


Dalam hadits ini adalah dalil bahwa keluarnya mani itu mewajibkan mandi baik keluarnya dengan syahwat atau tanpa syahwat, dari laki-laki atau perempuan, orang berakal atau gila, dengan jima' atau selainnya.

Pembatasan dalam hadits ini (الحصر) tidak menafikan wajibnya mandi disebabkan jima', karena:
1. Pembatasan ini di- _naskh_ (dihapus/diganti) hukumnya dengan hadits yang diriwayatkan oleh abu Hurairah (tentang wajibnya mandi disebabkan jima'). 

2. Pembatasan ini bukanlah pembatasan secara mutlak (wajib mandi hanya disebabkan oleh mani) akan tetapi pembatasan terhadap orang yang membatasi wajibnya mandi hanya karena jima', karena wajibnya mandi itu dengan keluarnya mani baik karena jima ataupun tidak.

3. Makna hadits ini, menurut ibnu Abbas, tidak wajib mandi dengan mimpi kecuali mengeluarkan mani.


Wajibnya mandi sebab keluar mani ini jika keluarnya dari tempat biasa dia keluar, atau dari tulang belakang (punggung) laki-laki atau tulang dada perempuan dalam kondisi jalan biasanya mani itu keluar (farji) tertutup jika keluarnya bukan karena sakit. Akan tetapi, jika keluar dari bukan tempat biasanya dikarenakan sakit maka tidak wajib mandi.


Hal ini juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah beliau bercerita bahwa Ummu Sulaim datang kepada Rasulullah dan bertanya tentang apakah perempuan wajib mandi jika dia bermimpi.
Lalu Rasulullah menjawab:

نعم إذا رأت الماء

"Iya, jika dia keluar mani."

Dari hadits ini, dapat disimpulkan bahwa perempuan juga keluar darinya mani, bukan hanya laki-laki.


Yang mewajibkan mandi adalah mani yang keluar pertama kali artinya jika keluar mani kemudian dimasukan lagi kemudian keluar maka ini (yang keluar pada kali kedua) tidak mewajibkan mandi.


Ciri-ciri mani :
- Keluarnya dengan menyembur
- Rasa nikmat ketika keluar walaupun tidak menyembur ketika itu karena sedikit
- Bau adonan ketika mani basah dan bau putih telur ketika kering walaupun tidak menyembur atau merasa nikmat ketika keluar.


Dari sini, dapat dipahami bahwa tanda-tanda mani perempuan sama dengan mani laki-laki. Ini adalah pendapat yang _mu'tamad_ (dapat dijadikan pedoman). Tetapi ada yang mengatakan bahwa tanda-tanda mani perempuan adalah rasa nikmat saja, ada yang mengatakan tanda-tandanya adalah rasa nikmat dan bau.


Kalau ada kemungkinan bahwa yang keluar adalah mani atau wadzi seperti orang yang bangun tidur kemudian mendapati sesuatu yang keluar itu berwarna putih kental, maka dia boleh memilih salah satunya, boleh mandi karena itu mani dan boleh membasuhnya saja karena itu adalah wadzi. Tetapi yang lebih baik adalah melakukan keduanya, yaitu membasuh tempat yang terkena dan mandi.

Jumat, 01 Desember 2023

Doa ketika keluar dari WC

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ (40)*

Dalil Disunahkannya Membaca غفرانك Selepas Keluar dari Tempat Buang Hajat


عن عائشة رضي الله عنها قالت: كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا خَرَج مِن الغَائِط قَال: غُفرَانَك. رواه أبو داود

Dari Sayyidah Aisyah -semoga Allah meridlainya- beliau berkata: "Rasulullah _shallallahu 'alayhi wasallam_ jika keluar dari tempat buang hajat membaca (maknanya): "Aku memohon ampunan-Mu, Ya Allah." (H.R. Abu Dawud)


Hadits ini menjadi dalil disunahkannya membaca doa tersebut setelah keluar dari tempat buang hajat.

Terkait hikmah dari perkataan Rasulullah, ada dua pendapat:

Pertama, bahwasanya Rasulullah beristighfar dari meninggalkan dzikir (menyebut) Allah ketika buang hajat. Bukan makna dari ini bahwasanya beliau berdosa karena meninggalkan dzikir, sebab tidak menjadi syarat untuk membaca istighfar harus didahului dengan dosa. Bahkan Nabi setiap hari beristighfar tujuh puluh kali.

Kedua, beristighfar karena takut dari keteledoran untuk mensyukuri nikmat Allah yang berkaitan dengan hal tersebut karena Allah telah memberikan nikmat makanan lalu memberikan pencernaaan yang baik dan memudahkan untuk mengeluarkan sisanya.


Diriwayatkan juga bacaan berikut:

غفرانك، الحمد لله الذي أذهب عني الأذى وعافاني

Akan tetapi ini statusnya dla'if. Para ulama menjelaskan bahwa hadits dla'if dapat diamalkan dalam _fadlail al a'mal_ ketika memenuhi persyaratan.

Selasa, 28 November 2023

disunnahkannya membuat penghalang dari pandangan orang ketika buang hajat

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ (39)*

Dalil Kesunnahan Membuat Penghalang (Penutup) dari Pandangan Orang ketika Buang Hajat


عن عائشة رضي الله عنها قالت: قال النبي صلى الله عليه وسلم: مَن أَتَى الغَائِطَ فَليَستَتِر. رواه أبو داود

Dari Aisyah -semoga Allah meridlainya- berkata: "Rasulullah _shallallahu 'alayhi wasallam_ bersabda : "Barangsiapa yang datang ke tempat buang hajat maka hendaklah ia membuat tutup." (H.R. Abu Dawud)


Hadits ini adalah dalil disunnahkannya membuat penghalang dari pandangan orang ketika buang hajat. Penghalang tersebut memiliki tinggi dua pertiga dzira' dan jarak antara seseorang dengan penghalangnya tiga dzira' atau kurang. Ini jika di padang pasir atau di bangunan yang tidak mungkin untuk diberi atap. Kalau di bangunan yang beratap atau mungkin untuk diberi atap maka hal tersebut sudah cukup menjadi penutup/penghalang.


As-Syaikh Zakaria menjelaskan bahwa hal ini sunnah jika di sana tidak ada orang lain yang tidak menutup matanya untuk melihatnya dan dia termasuk orang yang haram melihat auratnya (orang yang buang hajat). Kalau tidak (kalau ada orang yang membuka matanya dan ia termasuk orang yang haram melihat auratnya) maka hukum menutupi darinya wajib.

Pendapat yang diungkapkan oleh asy-Syaikh Zakaria ini adalah pendapat yang lemah. Sedangkan pendapat yang kuat, baik dia menutup matanya atau tidak selagi ia adalah orang yang haram melihat aurat orang yang buang hajat maka ia wajib menutupi darinya.

Kalau yang berada di situ adalah orang yang boleh melihat auratnya seperti istri maka tidak wajib menutup akan tetapi lebih baik untuk menutup.


Faidah penting:
- Pertama: Kalau ada dua orang kencing dengan saling membelakangi (punggung dengan punggung) yang satu menghadap ke satu arah dan yang lain ke arah berlawanan maka ini tidak haram.

- Kedua: Hadits ini datang dari sayyidah Aisyah dan juga terdapat banyak hadits-hadits lain yang dinukil dari para istri Nabi. Ini adalah hikmah dari banyaknya istri Nabi.

Senin, 27 November 2023

Tata Cara Istinja Menggunakan batu

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ (38)*

Dalil Bahwa Istinja' dengan Batu Wajib dengan Tiga Usapan (Memakai Tiga Sisi Batu Atau Tiga Buah Batu)


  عن أبي عبد الله سلمان رضي الله عنه لقد نهانا النبي صلى الله عليه وسلم أن نَستَنجِيَ بِأَقَلَّ مِن ثَلَاثَةِ أَحجَارٍ وَأَن نَستَنجِيَ بِرَجِيعٍ أَو عَظمٍ. رواه مسلم

Dari Abu Abdillah Salman -semoga Allah meridlainya- bahwasanya beliau berkata: "Rasulullah _shallallahu 'alayhi wasallam_ telah melarang kita untuk istinja' dengan lebih sedikit dari tiga buah batu, juga istinja' dengan kotoran hewan atau istinja' dengan tulang." (H.R. Muslim)


Wajib istinja' dengan tiga buah batu walaupun najis sudah hilang dengan dua buah batu. Akan tetapi yang dimaksud di sini adalah tiga usapan dari sisi-sisi berbeda dari satu buah batu. Akan tetapi memakai beberapa batu lebih utama dari pada satu buah batu (yang memiliki tiga sisi).


Disebutkan batu dalam hadits di atas padahal cukup juga dengan selain batu adalah sebab pada umumnya memang menggunakan batu. Benda yang semakna dengan batu adalah semua yang padat, mampu mencongkel najis, suci dan bukan sesuatu yang dimuliakan.


Jika telah bersih/suci dengan tiga usapan maka sudah cukup. Jika tidak, maka harus menambah usapan sampai bersih. Jika dengan menambah usapan sudah bersih dengan mengusapnya dalam jumlah ganjil maka sudah cukup. Jika tidak, maka sunnah menambah usapan agar menjadi ganjil.


Rasulullah pada hadits ini, juga melarang kita untuk beristinja' dengan kotoran hewan karena itu adalah najis. Beliau juga melarang istinja' dengan tulang walaupun tulang yang suci karena Rasulullah bersabda:

فإنه طعام إخوانكم

"Karena tulang adalah makanan saudara-saudara kalian (yaitu jin)."

Maka, makanan manusia seperti roti lebih utama untuk dilarang digunakan dalam beristinja'.


Semakna dengan kotoran hewan, semua benda najis walaupun najis yang kering. Maka itu tidak cukup untuk istinja'. Kalau hal itu dilakukan maka wajib istinja' dengan air setelahnya, karena tempat najis sudah terkena najis dengan najis yang _ajnabi_ (bukan dari yang ia keluarkan).


Syarat menyucikan najis dengan batu:

1. Najis tersebut keluar dari farji. Maka tidak bisa istinja' dengan batu pada sesuatu yang keluar dari selain farji seperti lubang yang terbuka.

2. Sesuatu yang keluar tersebut (najis tersebut) belum kering. Kalau sudah kering maka wajib memakai air.

3. Pada najis tinja, najis belum melewati _shafhah_, yaitu bagian yang saling menutup/bergabung dari pantatnya jika orang tersebut berdiri. Sedangkan pada najis kencing, najis belum melewati _hasyafah_, yaitu kepala dzakar. Juga wajib istinja' dengan air bagi orang perempuan jika kencingnya sudah sampai ke bagian masuknya dzakar dari farjinya.

4. Najis tidak terputus dari tempat keluarnya. Jika terputus maka wajib istinja' dengan air pada bagian yang terputus.

5. Tidak berpindah dari tempat keluarnya.
Perbedaan antara najis terputus dan berpindah adalah sebagai berikut:
Disebut berpindah jika najisnya keluar duluan kemudian berada (menempel) pada tempat keluarnya lalu berpindah/mengalir ke tempat lain dengan bersambung/tanpa terputus. Sedangkan terputus adalah jika najisnya keluar langsung ke tempat lain tanpa bersambung.

6. Tidak kemasukan sesuatu yang lain (selain najis yang keluar darinya) baik sesuatu yang najis maupun sesuatu yang suci dan basah.

Membantah Tuduhan bahwa al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari mempunyai 3 fase pemahaman.

Ada sebagian orang, tepatnya bersumber dari kaum Wahabi, mengatakan bahwa al-Imâm Abul Hasan melewati tiga fase faham (ajaran) dalam hidupnya. Pertama; fase faham Mu’tazilah. Dua; fase mengikuti faham Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab. Dan ke tiga; fase kembali kepada faham Salaf dan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Mereka mengatakan bahwa di akhir hidupnya hingga wafat, al-Asy’ari kembali kepada ajaran Salaf. Fase ke tiga ini menurut mereka al-Asy’ari telah benar-benar menjadi seorang yang berfaham Ahlussunnah.

Lanjutan tuduhan mereka ini kemudian mengatakan bahwa kaum Asy’ariyyah (para pengikut al-Imâm Abul Hasan) mengikuti al-Imâm Abul Hasan hanya dalam fase kedua dari fahamnya, yaitu fase mengikuti faham Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab. Kaum Asy’ariyyah tidak mengikuti al-Asy’ari di fase ke tiga. Karena itu, menurut mereka, kaum Asy’ariyyah ini tidak layak disebut Ahlussunnah Wal Jama’ah. Tuduhan ini banyak disebarkan dalam berbagai tulisan orang-orang Wahabi.

Tuduhan ini sangat mengelitik, dan patut kita kritisi. Ada banyak kemugkinan latar belakang timbulnya kesimpulan pembagian faham al-Asy’ari kepada tiga bagian di atas, sebagai berikut;

(Pertama); Tujuan utama faham pembagian fase tersebut adalah untuk menetapkan tuduhan bahwa kaum Asy’ariyyah adalah orang-orang sesat, bukan Ahlussunnah, para pengikut faham Mu’tazilah; atau dalam istilah mereka Afrakh al-Mu’tazilah (cicit-cicit Mu’tazilah), dan berbagai tuduhan lainnya.

(Dua); Mereka hendak menetapkan bahwa al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari sepaham dengan mereka. Yaitu, –menurut mereka– berfaham Salaf [ala Wahabi]; sangat anti takwil dalam memahami teks-teks mutasyabihat. Sementara kaum Asy’ariyyah menurut mereka tidak sepaham dengan Imam mereka sendiri. Kesimpulannya; al-Imâm Abul Hasan lurus, di atas kebenaran. Sementara kaum Asy’ariyyah; sesat, bukan Ahlussunnah dan bukan di atas ajaran Salaf, bahkan mereka adalah orang-orang kafir. Alasannya; karena kaum Asy’ariyyah telah memberlakukan takwil terhadap teks-teks mutasyabihat.

(Tiga); Mereka hendak menyebarkan faham tasybih dan faham anti takwil, yang mereka bungkus dengan nama ajaran Salaf. Untuk itu mereka berani mereduksi (merubah) isi karya-karya al-Asy’ari, seperti yang akan anda lihat dalam catatan di bawah ini. Salah satunya, karya al-Asy’ari berjudul al-Ibanah Fi Ushul ad-Diyanah yang dirombak menjadi berfaham tasybih dan tajsim.

(Empat); Pembagian tiga fase faham al-Imâm al-Asy’ari di atas memberikan kesimpulan bahwa Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab bukan seorang yang berfaham Ahlussunnah Wal Jama’ah. Artinya, menurut mereka beliau adalah seorang yang sesat. Ini mengaburkan pemahaman umat Islam, utamanya mereka yang tidak kenal siapa sesungguhnya Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab.

(Lima); Membuat opini di kalangan umat Islam dan menggiring mereka, utamanya orang-orang awam, agar mengikuti faham mereka; bahwa kaum Asy’ariyyah –menurut mereka– adalah orang-orang sesat yang wajib dihindari. Inilah tujuan utama mereka, yaitu untuk “berjualan”, membuat propaganda untuk menyebarkan faham mereka.

Tuduhan menyesatkan (syubhat) kaum Musyabbihah Mujassimah di atas kita bantah dengan beberapa catatan berikut;

(Satu); al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari adalah tokoh Ahlussunnah Wal Jama’ah. Nama, akidah (keyakinan), dan rumusan ajaran Ahlussunnah yang beliau bukukan telah ditulis dengan tinta emas oleh murid-murid beliau, oleh para ahli sejarah (al-Mu’arrikhun), dan oleh para ulama di setiap generasi sesudahnya.

(Dua); Bahwa al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari semula seorang berfaham Mu’tazilah, bahkan menjadi tokoh panutan dan rujukan di kalangan orang-orang Mu’tazilah; ini benar adanya. Tidak ada seorang-pun dari murid-murid Abul Hasan (Ash-hab al-Asy’ari) yang telah mencatatkan bahwa beliau wafat dan telah bertaubat dari faham fase ke dua (faham Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab; seperti prasangka kaum Musyabbihah Mujassimah). Tidak ada seorangpun dari murid-murid al-Asy’ari yang mengatakan bahwa guru mereka telah bertaubah dari faham metode takwil. Tidak ada seorang-pun dari mereka mengatakan bahwa al-Asy’ari berkeyakinan Allah memiliki bentuk dan ukuran, memiliki tempat dan arah, bertempat di langit; juga bertempat di arsy, serta memiliki anggota-anggota badan seperti yang mereka tuduhkan. Silahkan anda cek catatan / karya-karya Ash-hab al-Asy’ari.

(Tiga); al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari tidak pernah mengikrarkan diri bertaubat bahwa ia keluar dari faham Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab –seperti yang disangka / dikhayalkan kaum Musyabbihah Mujassimah– sebagaimana beliau berikrar taubat dari faham Mu’tazilah. Sejarah tidak pernah mencatat prasangka kaum Musyabbihah Mujassimah itu. Al-Asy’ari tidak bernah berkata; “Saya berada dalam faham fase ke dua (model faham Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab), dan faham ini adalah sesat, karena itu saya pindah ke fase ke tiga (faham Salaf, seperti prasangka kaum Musyabbihah)”. Sejarah tidak pernah mencatat ini, bahkan sebatas isyarat-pun tidak ada.

(Empat); Tidak ada seorang-pun murid dari murid-murid al-Asy’ari yang mencatatkan bahwa al-Asy’ari wafat dalam keadaan telah taubat dari faham metode takwil. Tidak ada seorang-pun dari mereka mengatakan bahwa al-Asy’ari berkeyakinan Allah memiliki bentuk dan ukuran, memiliki tempat dan arah, bertempat di langit; juga bertempat di arsy, serta memiliki anggota-anggota badan seperti yang mereka tuduhkan. Silahkan anda cek catatan / karya-karya para ulama dari murid-murid al-Imâm al-Asy’ari. Perhatikan pernyataan al-Imâm Ibn Furak ini:

انتقل الشيخ أبو الحسن علي بن إسماعيل رضي الله عنه من مذاهب المعتزلة إلى نصرة مذاهب أهل السنة والجماعة بالحجج العقلية وصنف في ذلك الكتب. اهـ

“Syekh Abul Hasan Ali ibn Isma’il al-Asy’ari pindah dari ajaran-ajaran Mu’tazilah kepada membela ajaran-ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah dengan argumen-argumen akal, yang dalam hal itu beliau menyusun kitab-kitab”[1].

Al-Imâm Ibn Furak tidak mengatakan; al-Asy’ari pindah kepada fase faham ke dua.

(Lima); Tidak ada seorang-pun dari para ahli sejarah (al-Mu’-arrikhun) yang menuliskan bahwa al-Asy’ari wafat dalam telah kembali kepada ajaran Salaf [versi wahabi / Musyabbihah / Mujassimah, atau dari keadaan telah taubat dari faham metode takwil. Yang benar adalah bahwa keluarnya al-Imâm al-Asy’ari dari faham Mu’tazilah adalah untuk membela ajaran Salaf saleh. Dan beliau tidak tetap meyakini ajaran Salaf tersebut sampai akhir hayatnya. Perhatikan catatan Ibnu Khalikan dalam Wafayat al-A’yan berikut ini:

هو صاحب الأصول والقائم بنصرة مذهب السنة، وكان أبو الحسن أولا معتزليا ثم تاب من القول بالعدل وخلق القرءان في المسجد الجامع بالبصرة يوم الجمعة. اهـ

“Beliau (al-Asy’ari) adalah seorang ahli Ushul (teolog), dan seorang yang berdiri membela madzhab Ahlussunnah. Awalnya, Abul Hasan adalah seorang berfaham Mu’tazilah, kemudian bertaubat dari faham / teori “keadilan” (yang menetapkan adanya kewajiban bagi Allah) dan dari faham al-Qur’an makhluk di masjid jami’ di Basrah pada hari jum’at”.[2]

(Enam); Sejarah mencatat bahwa setelah al-Imâm al-Asy’ari keluar dari faham Mu’tazilah beliau sejalan dengan pendapat Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab, al-Qalanisi, dan al-Muhasibi. Dan sesungguhnya mereka semua adalah para ulama yang berada di atas ajaran Salaf saleh. Perhatikan tulisan Ibnu Khaldun berikut ini:

إلى أن ظهر الشيخ أبو الحسن الأشعري وناظر بعض مشيختهم -أي المعتزلة- في مسائل الصلاح والأصلح فرفض طريقتهم، وكان على رأي عبد الله بن سعيد بن كلاب والقلانسي والحارث المحاسبي من أتباع السلف وعلى طريقة السنة. اهـ

“Hingga tampilah Syekh Abul Hasan al-Asy’ari, ia membantah pemuka-pemuka Mu’tazilah dalam masalah ash-Shalah wa al-Ash-lah maka ia menolak faham mereka. Dan adalah beliau di atas pendapat Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab, al-Qalanisi, dan al-Harits al-Muhasibi; dari para pengikut Salaf dan di atas ajaran Ahlussunnah”[3].

(Tujuh); Semua ahli sejaran (al-Mu’arrikhun) mencatat bahwa al-Asy’ari pindah dari faham Mu’tazilah kepada faham Ahlussunnah ajaran Salaf saleh. Demikian dicatat oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, Tajuddin as-Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah al-Kubra, Ibnul ‘Imad dalam Syadzarat adz-Dzahab Fi Akhbar Man Dzahab, Ibnul Atsir dalam al-Kamil Fi at-Tarikh, Ibnu ‘Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî, al-Qadli ‘Iyadl dalam Tartib al-Madarik, Ibnu Qadli Syubhah dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, al-Isnawi dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, Ibnu Farhun dalam ad-Dibaj al-Mudzahhab, al-Yafi’i dalam Mir’at al-Janan, dan lainnya. Sangat tidak masuk akal, jika benar ada fase ke tiga dari faham al-Asy’ari lalu luput dari catatan para ahli sejarah di atas!

Bahkan, al-Qadli Abu Bakr al-Baqilani yang notebene pembela ajaran-ajaran al-Asy’ari, dalam karya-karyanya seperti al-Inshaf dan at-Tamhid tidak ada “secuil”-pun menyebutkan bahwa ada fase ke tiga dari faham aqidah al-Asy’ari. Lihat pula karya-karya Ibnu Furak, al-Qaffal asy-Syasyi, Abu Ishaq asy-Syirazi, al-Bayhaqi; juga tidak ada sedikitpun menyinggung adanya fase ke tiga dari perjalan keyakinan al-Asy’ari.

(Delapan); Siapa sesungguhnya Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab? Jawabnya adalah beliau seorang Imam terkemuka di kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah yang sangat kuat membantah dan melumpuhkan faham-faham Mu’tazilah dan Musyabbihah Mujassimah. Karena itu beliau sangat dibenci oleh kaum Mu’tazilah dan Musyabbihah sekaligus. Terutama kaum Musyabbihah yang sangat anti terhadap takwil, oleh karena Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab ini mempergunakan metode takwil dalam memahami teks-teks mutasyabihat.

Al-Imâm Tajuddin as-Subki dalam Thabaqat asy-Syafiyyah tentang Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab menuliskan:

وابن كلاّب على كل حال من أهل السنة، ورأيت الإمام ضياء الدين الخطيب والد الإمام فخر الدين الرازي قد ذكر عبد الله بن سعيد في آخر كتابه غاية المرام في علم الكلام فقال: ومن متكلمي أهل السنة في أيام المأمون عبدالله بن سعيد التميمي الذي دمّر المعتزلة في مجلس المأمون وفضحهم ببيانه. اهـ

“Kesimpulannya, Ibnu Kullab adalah dari kaum Ahlussunnah. Dan aku telah melihat al-Imâm Dliya’uddin al-Khathib; ayahanda al-Imâm al-Fakhruddin ar-Razi telah menyebutkan prihal Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab di akhir kitabnya “Ghayah al-Maram Fi ‘Ilm al-Kalam”, berkata: Di antara teolog Ahlussunnah di masa al-Ma’mun adalah Abdullah ibn Sa’id at-Tamimi yang telah menghancurkan kaum Mu’tazilah di majelis al-Ma’mun, dan telah menelanjangi mereka dengan penjelasannya”.[4]

Al-Imâm Al-Hafizh Ibn Asakir dalam kutipannya dari al-Imâm Abu Zaid al-Qayrawani, bahwa beliau berkata:

ما علمنا من نسب إلى ابن كلاّب البدعة، والذي بلغنا أنه يتقلّد السنة ويتولّى الردَّ على الجهمية وغيرهم من أهل البدع. اهـ

“Kami tidak mengetahui adanya orang yang menyandarkan Ibnu Kullab kepada perkara bid’ah. Berita yang sampai kepada kami beliau adalah pengikut ajaran Ahlussunnah, dan orang terdepan yang membantah faham Jahmiyyah dan lainnya dari kelompok ahli bid’ah”.[5]

Ibnu Qadli Syubhah dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah tentang biografi Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab di antara tulisannya adalah sebagai berikut:

من كبار الْمُتَكَلِّمين وَمن أهل السّنة وبطريقته وَطَرِيقَة الْحَارِث المحاسبي اقْتدى أَبُو الْحسن الْأَشْعَرِيّ. اهـ

“Beliau adalah di antara teolog terkemuka, dan dari kaum Ahlussunnah, dan Abul Hasan mengikuti metodenya, juga mengikuti metode al-Harits al-Muhasibi [dalam membela ajaran Ahlussunnah]”.[6]

Catatan dan penilaian yang sama juga telah dituliskan oleh Ibnu Khaldun dalam kitab al-Muaqaddimah tentang al-Imâm Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab, sebagaimana telah kita kutip di atas.

Al-Muhddits Zahid al-Kawtsari dalam ta’liq-nya terhadap kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî menuliskan:

كان إمام متكلمة السنة في عهد أحمد، وممن يرافق الحارث بن أسد، ويشنع عليه بعض الضعفاء في أصول الدين. اهـ

“Beliau (Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab) adalah Imam para ulama yang membela Sunnah (ajaran Rasulullah / Ahlussunnah) di masa Ahmad. Beliau di antara yang bersahabat dengan al-Harits ibn Asad al-Muhasibi). Orang-orang yang lemah dalam aqidah telah mencelanya”.[7]

Syekh Jamaluddin al-Isnawi dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah menuliskan tentang sosok Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab:

كان من كبار المتكلمين ومن أهل السنة، ذكره العبادي في طبقة أبي بكر الصيرفي، قال؛ إنه من أصحابنا المتكلمين. اهـ

“Beliau adalah di antara teolog terkemuka, dari kalangan Ahlussunnah, al-Ibadi telah menyebutkannya di thabaqah Abu Bakr ash-Shayrafi, berkata: Beliau adalah di antara sahabat kita dari kalangan Mutakallimin (teolog)”[8].

Al-‘Allamah Kamaluddin al-Bayyadli dalam Isyarat al-Maram menuliskan:

لأن الماتريدي مفصل لمذهب الإمام (يعني أبا حنيفة) وأصحابه المظهرين قبل الأشعري لمذهب أهل السنة، فلم يخل زمان من القائمين بنصرة الدين وإظهاره، وقد سبقه (يعني الأشعري) أيضا في ذلك (أي في نصرة مذهب أهل السنة والجماعة) الإمام عبد الله بن سعيد القطان. اهـ

“… karena al-Maturidi telah merinci (menjelaskan) bagi madzhab al-Imâm Abu Hanifah dan para sahabatnya yang telah memunculkan madzhab Ahlussunnah sebelum al-Asy’ari. Maka tidak pernah sunyi masa dari orang-orang yang berdiri membela agama dan menyiarkannya. Dan juga terdahulu pula sebelum al-Asy’ari dalam membela madzhab Ahlussunnah oleh al-Imâm Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab al-Qaththan”.[9]

Teolog Ahlussunnah terkemuka (al-Mutakallim) Abul Fath Asy-Syahrastani dalam kitab al-Milal Wa an-Nihal berkata:

حتى انتهى الزمان إلى عبد الله بن سعيد الكلابي وأبي العباس القلانسي والحارث بن أسد المحاسبي وهؤلاء كانوا من جملة السلف إلا أنهم باشروا علم الكلام وأيدوا عقائد السلف بحجج كلامية وبراهين أصولية. اهـ

“Hingga sampailah zaman ke masa Abdullah ibn Sa’id al-Kullabi, Abul Abbas al-Qalanisi, dan al-Harits ibn Asad al-Muhasibi, dan mereka semua adalah dari golongan Salaf, hanya saja mereka menggeluti Ilmu Kalam dan membela aqidah Salaf dengan dalil-dalil teologis, dan argumen-argumen ushul”.[10]

Bahkan tidak hanya al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari yang sejalan dengan metode al-Imâm Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab dalam meneguhkan argumen-argumen aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah. jauh sebelumnya, metode Ibn Kullab juga telah dipraktekan oleh al-Imâm al-Bukhari. Simak catatan al-Hafizh Ibn Hajar berikut ini:

البخاري في جميع ما يورده من تفسير الغريب إنما ينقله عن أهل ذلك الفن كأبي عبيدة والنضر بن شميل والفراء وغيرهم، وأما المباحث الفقهية فغالبها مستمدة له من الشافعي وأبي عبيد وأمثالهما، وأما المسائل الكلامية فأكثرها من الكرابيسي وابن كلاب ونحوهما. اهـ

“al-Bukhari dalam seluruh apa yang ia datangkan dari tafsir gharib (asing) adalah ia mengutipnya dari para ahli pada bidang itu seperti Abu Ubaid, an-Nadlr ibn Syamil, al-Farra’ dan lainnya. Sementara dalam pembahasan-pembahasan fiqh maka umumnya beliau (al-Bukhari) mengambil rederensi dari asy-Syafi’i, Abu Ubaid, dan semacam keduanya. Adapun dalam masalah-masalah Kalam (teologi) maka kebanyakannya mengambil dari al-Karabisi, Ibn Kullab, dan semacam keduanya”.[11]

__________________
[1] Ibnu ‘Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 127
[2] Ibn Khalikan, Wafayat al-A’yan, j. 3, h. 284
[3] Ibn Khaldun, al-Muqaddimah, h. 853
[4] Tajuddin as-Subki, Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 2, h 300
[5] Ibnu ‘Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 406
[6] Ibnu Qadli Syubhah, Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 1, h. 78
[7] Ibnu ‘Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 405
[8] Al-Isnawi, Thabawat asy-Syafi’iyyah, j. 2, h. 178
[9] Al-Bayyadli, Isyârât al-Marâm Min ‘Ibârât al-Imâm, h. 23
[10] Asy-Syahrastani, al-Milal Wa an-Nihal, h. 81
[11] Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari’, j. 1, h. 293

Minggu, 26 November 2023

Dalil Haramnya Buang Hajat Menghadap Kiblat atau Membelakanginya

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ (37)*

Dalil Haramnya Buang Hajat Menghadap Kiblat atau Membelakanginya Tanpa _Satir_ di Tempat Selain yang Dijadikan untuk Buang Hajat


عن أبي أيوب رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: إِذَا أَتَيتُمُ الغَائِطَ فَلا تَستَقبِلُوا القِبلَةَ بِغَائِطٍ وَلا تَستَدبِرُوها وَلكِن شَرِّقُوا أَو غَرِّبُوا. رواه الشيخان

Dari Abu Ayub -semoga Allah meridlainya- beliau berkata: "Rasulullah _shallallahu 'alayhi wasallam_ bersabda : "Jika kalian datang ke tempat buang hajat maka jangan menghadap kiblat (ketika kencing atau buang air besar) juga jangan membelakangi kiblat, akan tetapi menghadaplah ke timur atau barat." (H.R. Al Bukhari dan Muslim)


Diriwayatkan bahwasanya Rasulullah buang hajat di rumah Hafshah dengan menghadap ke arah Syam dan membelakangi Ka'bah.


Diriwayatkan oleh ibnu Hibban bahwasanya Rasulullah buang hajat menghadap Ka'bah.

Maka para ulama mengompromikan hadits-hadits ini dengan mengambil pendapat al Imam asy-Syafi'i bahwasanya:
1. Kabar yang pertama haram menghadap ke kiblat atau membelakanginya ketika di selain bangunan, karena luasnya membuat tidak sulit untuk menghindari menghadap kiblat atau membelakanginya. Adapun di bangunan, disunnahkan untuk menghindari hal tersebut dan boleh melakukannya seperti yang dilakukan oleh Nabi. Nabi melakukannya untuk menjelaskan kebolehannya. Akan tetapi bagi kita (umat Nabi), yang lebih utama adalah menghindarinya (tidak menghadap kiblat atau membelakanginya di bangunan).

2. Yang kedua (buang hajat menghadap kiblat atau membelakanginya) jika pada kondisi tertutupi dengan _satir_ dengan tinggi dua pertiga _dzira'_ dan jarak antara dia dan _satir_ tiga _dzira'_ atau kurang. Maka tempat yang pertama (haram mengahadap kiblat atau membelakanginya) jika tidak ada _satir_. Semua perincian ini berlaku jika tidak pada tempat yang memang dibuat untuk buang hajat. Adapun di tempat yang memang dibuat untuk buang hajat maka tidak haram, tidak makruh juga tidak _khilaful aula_ (buang hajat dengan menghadap kiblat atau membelakanginya).


_Khithab_ dalam hadits tersebut adalah untuk penduduk Madinah dan yang semakna dengan mereka seperti penduduk Syam, Yaman dan lainnya yang kiblatnya searah dengan mereka. Adapun orang yang kiblatnya di arah timur dan barat maka buang hajat ke arah kiri atau kanan (utara atau selatan).


Dalam madzhab kita, jika seseorang sudah menghindari menghadap kiblat dan membelakanginya ketika buang hajat, kemudian ditengah-tengah istinja' menghadap ke kiblat atau membelakanginya maka itu hukumnya boleh tanpa ada kemakruhan, seperti yang dituturkan oleh al Imam ar-Ruyyani, bahwa itu adalah benar. Juga tidak makruh ketika buang angin atau jima' menghadap kiblat atau membelakanginya.

Sabtu, 25 November 2023

larangan istinja dengan tangan kanan

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ (36)*

Dalil Kemakruhan Memegang Dzakar dan Beristinja' dengan Tangan Kanan


عن أبي قتادة رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: لايُمسِكَنَّ أحدُكُم ذَكَرَه بِيَمِينِه وَهُو يَبُول وَلا يَتَمَسَّحْ مِنَ الخَلَاء بِيَمينِه ولا يَتَنَفَّس فِي الإِنَاء. رواه الشيخان

Dari Abu Qatadah -semoga Allah meridlainya- beliau berkata: "Rasulullah _shallallahu 'alayhi wasallam_ bersabda: "Janganlah salah seorang dari kalian memegang dzakarnya (kemaluannya) dengan tangan kanan ketika dia kencing, janganlah beristinja' dari buang hajat dengan tangan kanannya dan janganlah mengeluarkan nafasnya dari mulut di dalam wadah." (H.R. Al Bukhari dan Muslim)


Larangan memegang dzakar tersebut dibatasi pada kondisi kencing sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama. Akan tetapi pendapat yang _mu'tamad_ (dapat dijadikan pedoman) tidak seperti itu, berdasarkan dalil riwayat lain yang tidak menyebutkan kondisi kencing. Maka *tidak dikatakan* jika hal tersebut tidak terbatas pada kondisi kencing saja maka ini menunjukkan bahwa hadits di atas dipahami secara umum saja (tidak diambil makna yang khusus dari hadits umum). (Tidak dikatakan demikian) karena kita mengatakan tidak apa-apa memaknai hadits ini secara umum (baik kondisi kencing atau tidak). Sebab, dikatakan tidak memaknai sebuah hadits umum dengan makna khusus jika _qaid_ (batasan) tidak keluar dari kebiasaan, dan makna yang umum tidak lebih unggul dalam hukum daripada makna yang khusus. Akan tetapi, pada permasalahan ini berbeda karena pada umumnya, orang memegang dzakar terjadi ketika dia kencing. Begitu juga, jika dilarang memegang dengan tangan kanan ketika istinja' padahal itu (kondisi yang diduga) dibutuhkan maka larangan menyentuh dengan tangan kanan pada selain kondisi istinja' lebih utama.


Hadits ini juga menunjukkan larangan beristinja' dengan tangan kanan. Sebaliknya, beristinja' itu dengan tangan kiri karena tangan kanan dipakai untuk sesuatu yang dimuliakan, sedangkan tangan kiri dipakai untuk sesuatu yang rendah dan kurang. Begitu juga, kalau memegang najis dengan tangan kanan maka bisa jadi nanti ia akan mengingatnya ketika makan bahwa tangan kanannya telah digunakan untuk menyentuh najis ketika istinja' sehingga dirinya akan merasa jijik.


Hadits ini juga menunjukkan larangan seseorang bernafas menggunakan mulut di dalam wadah agar tidak mengotori air dengan hal tersebut dan agar menjadi aman dari sesuatu yang keluar dari mulut yang membuatnya merasa jijik.


Maka hadits ini juga menunjukkan kemakruhan tiga hal tersebut. Mayoritas ulama mengatakan hal itu makruh. Mereka memahami kalimat yang menggunakan _ibaroh_ لا يجوز dengan makna makruh.


Istinja' disunnahkan untuk dilakukan sebelum wudlu agar keluar dari perbedaan pendapat dan aman dari batalnya wudlu setelah suci. Disunnahkan pula untuk memulai istinja' dengan air di _qubul_-nya.


Menggunakan air di dalam istinja' wajib dengan takaran sekira dapat (cukup) menghilangkan najis. Kalau sudah melakukan itu kemudian ia masih mencium bau najis dari tangannya maka itu menunjukkan bahwa masih ada najis di tempat keluarnya najis (farji) sehingga ia wajib menghilangkannya lagi. Dengan pendapat ini, disunnahkan untuk mencium tangan. Akan tetapi, menurut pendapat yang lebih sahih, bau najis di tangan tidak menunjukkan masih adanya sisa najis di tempatnya (farji) melainkan menunjukkan najis itu masih ada di tangan (bukan di tempat najis). Maka, dengan pendapat ini, tidak disunnahkan mencium tangan.

Kamis, 23 November 2023

Makruhnya Berbincang-bincang ketika Buang Hajat

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ (35)*

Dalil Makruhnya Berbincang-bincang ketika Buang Hajat


عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: لا يَخرُجِ الرَّجُلَان يَضرِبَان الغَائِط عَن عَورَتِهمَا يَتَحدَّثان فَإِنَّ الله يَمقُتُ عَلى ذَلك. رواه أبو داود

Dari Abu Said al Khudri -semoga Allah meridlainya- beliau berkata: "Bahwasanya Rasulullah _shallallahu 'alayhi wasallam_ bersabda: "Janganlah dua orang datang (ke kamar kecil) dalam kondisi membuka auratnya kemudian berbincang-bincang, karena sesungguhnya Allah murka terhadap hal tersebut." (H.R. Abu Dawud)


Dalam hadits ini, terdapat dalil kemakruhan berbincang-bincang ketika sedang buang hajat.

Kalau dikatakan: "Tidak ada dalil dalam hadits tersebut, yang menunjukkan kemakruhan berbincang-bincang saat buang hajat sebab yang dicela dalam hadits bukan hanya berbincang-bincang saja (karena hadits tersebut melarang berbincang-bincang dalam kondisi membuka aurat)."

Maka jawabannya (sebagaimana yang telah dijelaskan oleh asy-Syaikh Zakariya al Anshari) adalah bahwa sebagian hal yang dimurkai oleh Allah menjadi berhukum makruh tanpa ada keraguan tentang hal itu. Diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan oleh al Imam al Hakim bahwasanya Rasulullah bersabda tentang dua orang yang sedang buang hajat:

إن يتحدثا فإن الله يمقت على ذلك

"Kalau mereka berdua berbincang-bincang maka Allah murka atas hal itu."


*Faidah Penting:*
Al Imam Abu Ja'far Ath-Thahawi mengatakan:

والله يغضب ويرضى لا كأحد من الورى

"Allah murka dan ridla tapi tidak sama dengan murka dan ridlanya makhluk."

Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya baik dzat-Nya maupun sifat-Nya. Ketika dikatakan Allah murka atau ridla berarti bukan seperti murka atau ridlanya makhluk. Sifat _Ghadlab_ dan _Ridla_-nya Allah adalah _azali_ (ada tanpa permulaan) dan abadi (ada tanpa akhiran). Sedangkan sifat murka dan ridla makhluk itu baharu, memiliki permulaan dan akhiran.

Selasa, 21 November 2023

Apa yang dipakai untuk beristinja

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ (34)*

Dalil Bahwa Istinja' dengan Air Lebih Utama dari Sekedar Memakai Batu


عَن أَنَسٍ رضي الله عنه كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَدخُلُ الخَلَاء فَأَحمِل أَنا وغُلامٌ نَحوِي إِدَاوَةً مِن مَاءٍ وعنزةً فَيَستَنجِى بِالمَاء. رواه الشيخان

Dari sahabat Anas -semoga Allah meridlainya- berkata: "Ketika Nabi ingin masuk ke kamar kecil, saya dan seorang pemuda yang umurnya dekat denganku membawa wadah (yang berisi) air dan (membawa) tongkat. Kemudian Rasulullah beristinja' dari air tersebut". (H.R. Al Bukhari dan Muslim)


Rasulullah membutuhkan tongkat karena setelah beliau berwudlu, kemudian beliau melakukan shalat dua raka'at. Jadi Nabi membutuhkan tongkat untuk ditancapkan (sebagai _sutrah_/penghalang yang ditaruh di depannya saat shalat) jika beliau tidak berada pada bangunan. Selain itu, dimungkinkan juga beliau memerlukan tongkat tersebut untuk melindungi diri dari orang-orang munafik dan yahudi karena mereka ingin membunuh Rasulullah.


Dari hadits ini juga dapat diambil dalil tentang beberapa hal berikut: 
- menggali tanah yang keras jika ingin buang hajat agar najis dari buang hajatnya tidak mengenainya,
- berkhidmah terhadap orang-orang shalih, dan mencari berkah dengan hal itu, 
- seorang yang shalih/dimuliakan meminta tolong kepada sebagian murid-muridnya dalam memenuhi keperluannya,
- disunnahkan istinja' dengan air dan itu lebih unggul dari sekedar memakai batu.


Beristinja' menggunakan air lebih utama dari batu. Sementara menggunakan kedua-duanya (air dan batu) lebih utama dari sekadar memakai salah satu dari keduanya.


Syarat benda (selain air) dapat digunakan untuk beristinja' adalah sebagai berikut:
- Benda yang padat. Maka tidak cukup memakai sesuatu yang cair (selain air).
- Suci. Maka tidak cukup beristinja' dengan najis seperti kotoran hewan yang telah mengering.
- Dapat mencabut/mencongkel najis. Maka tidak cukup dengan memakai batang bambu yang licin.
- Bukan sesuatu yang dimuliakan. Maka tidak cukup memakai makanan manusia bahkan bisa jatuh kepada maksiat jika beristinja' dengan sesuatu yang dimuliakan. Jika Rasulullah telah melarang untuk beristinja' dengan tulang karena tulang adalah makanan jin, maka makanan manusia lebih tidak diperbolehkan.

Senin, 20 November 2023

Doa Sebelum Masuk Kamar Kecil

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ (33)*


Dalil Disunnahkannya Membaca Doa اللّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الخُبُث والخَبَائِث Sebelum Masuk Kamar Kecil


عن أنس رضي الله عنه قال: كَان النبي صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَل الخَلَاء قال: اللّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الخُبُث والخَبَائِث. رواه الشيخان

Dari sahabat Anas beliau berkata: "Bahwasanya Rasulullah jika akan masuk ke dalam kamar kecil beliau mengatakan (maknanya): "Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan dengan-Mu dari gangguan setan laki-laki dan perempuan." (H.R. Al Bukhari dan Muslim)

WC/kamar kecil dinamakan dengan خلاء (Khala') karena dia akan kosong pada waktu selain buang hajat dan karena setan yang ditugaskan di _khala'_ bernama Khala.


_Al khubuts_ ( الخبث ) artinya setan laki-laki. Dia adalah bentuk jama' dari _khabits_ (خبيث). Sedangkan _al khabaits_ (الخبائث) artinya setan perempuan. Dia adalah bentuk jama' dari _khobitsah_ (خبيثة). Ada yang mengatakan _al khubts_ artinya para setan sedangkan _al khabaits_ artinya maksiat-maksiat. Dikatakan juga bahwa _al khubts_ artinya para setan sedangkan _al khabaits_ artinya kencing dan tinja.

Adapun Nabi memohon perlindungan dari hal tersebut adalah untuk menampakkan _ubudiyyah_ serta mengajarkan kepada umatnya karena pada hakekatnya beliau adalah orang yang _ma'shum_ (terjaga) dari hal tersebut. 


Hadits ini adalah dalil disunahkannya doa tersebut. Hal ini dikarenakan kata كان pada hadits ini menunjukkan hal yang dilakukan terus-menerus bahkan (di luar hal itu) perkara ini adalah memang disunnahkan secara ijma' baik (buang hajat) di bangunan ataupun di padang pasir karena tempat buang hajat menjadi rumah bagi para setan. Disunnahkan juga mengucapkan basmalah sebelum do'a tersebut. Terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Anas:

بسم الله، اللهم إني أعوذ بك من الخبث والخبائث


Berbeda halnya dengan ucapan _ta'awudz_ di dalam shalat dan selainnya karena _ta'awudz_ dalam hal tersebut didahulukan karena untuk membaca (al Qur'an) dan _basmalah_ merupakan ayat dalam al Qur'an, berbeda dengan _basmalah_ pada do'a ini (karena _basmalah_ tidak diucapkan untuk membaca al Qur'an).


Faidah: Asy-Syaikh Abdullah Al-Harari banyak memperingatkan agar seseorang tidak berlama-lama di dalam kamar kecil karena tempat tersebut banyak disukai oleh setan dan banyak terjadi waswas disebabkan terlalu sering berlama-lama di kamar kecil. Para ulama menjelaskan, di antara hal-hal yang dapat melindungi seseorang dari gangguan jin di dalam kamar kecil adalah dengan memakai sesuatu yang menutupi kepalanya.

Minggu, 19 November 2023

Dalil Bahwa Apa yang Keluar dari _Qubul_ dan Dubur Membatalkan Wudlu

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ (32)*

Dalil Bahwa Apa yang Keluar dari _Qubul_ dan Dubur Membatalkan Wudlu


عن عبد الله بن زيد رضي الله عنه شُكِيَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم الرَّجُل خُيِّل إِلَيه أَنَّه يَجِد الشَّيءَ فِي الصَّلَاة فقال: لا يَنصَرِف حَتَّى يَسمَعَ صَوتا أو يَجِدَ رِيحًا رواه الشيخان

Dari Abdullah ibn Zaid -semoga Allah meridlainya-, diadukan kepada Nabi tentang seorang laki-laki yang di dalam sholatnya ia menyangka bahwasa ia mendapati (mengalami) sesuatu dalam shalat. Maka Nabi bersabda: "Janganlah ia beranjak dari shalat (memutuskan bahwa shalatnya batal) sampai ia mendengar suara atau mencium bau". (H.R. Al Bukhari dan Muslim)


Maksud dari "sampai ia mendengar suara atau mencium bau" adalah sampai ia yakin akan hal tersebut (keluarnya kentut) karena bisa saja dia adalah orang yang tuli atau tidak bisa mencium bau. Adapun disebutkannya hal tersebut dalam hadits adalah karena memang menyesuaikan kebiasaan. 


Adapun lafazh hadits yang diriwayatkan oleh Bazzar adalah

يأتى أحدَكم الشيطان في صلاته فينفخ في مقعدته فيخيل إليه أنه أحدث ولم يحدث وإذا وجد ذلك فلا ينصرف حتى يسمع صوتا أو يجد ريحا

"Setan mendatangi salah seorang dari kalian dalam shalatnya lalu meniup di pantatnya (bagian belakang dari orang tersebut) sehingga (dengannya) ia mengira bahwa ia sudah berhadats padahal tidak berhadats. Maka kalau salah seorang dari kalian mendapati hal tersebut janganlah ia memutuskan bahwa shalatnya batal sampai mendengar suara atau mencium bau."


Hadits ini dalil bahwa sesuatu yang keluar dari _qubul_ atau dubur membatalkan wudlu kecuali kalau sekedar ragu (akan hal tersebut). Maka dari sini, dapat diambil kaidah yang sangat agung yaitu:

اليقين لا يرفع بالشك

"Sebuah keyakinan itu tidak akan hilang dengan sebuah keraguan."

Maksudnya adalah sekedar ragu yang meliputi perkiraan atau anggapan semu. Jadi, barangsiapa yakin tentang kondisi sucinya kemudian ragu apakah batal atau tidak maka harus menghukumi bahwasanya ia tetap suci baik di dalam shalat ataupun di luar shalat.


Kata shalat dijadikan _muqaddar_ (tidak disebutkan namun diketahui jika kata tersebut yang dimaksud) pada jawaban Rasul dalam hadits tersebut adalah karena kata shalat telah disebutkan di dalam pertanyaan. Maka yang dimaksud bukanlah pengkhususan kondisi pada shalat saja.

Jumat, 17 November 2023

Menyentuh _Qubul_ atau Dubur Mewajibkan Wudlu

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ (31)*

Dalil Bahwa Menyentuh _Qubul_ atau Dubur Mewajibkan Wudlu

عن بُسرَةَ بِنتِ صَفوَان قَالت قال النَّبي صلى الله عليه وسلم: مَن مَسَّ ذَكَرَهُ فَليَتَوَضَّأ. رواه الشافعي وأبو داود والترمذي 

Dari Busrah binti Shafwan ia berkata bahwasanya Rasulullah _shallallahu 'alayhi wasallam_ bersabda: "Barangsiapa menyentuh dzakarnya maka wajib berwudlu (karena telah batal wudlunya)." (H.R. Asy-Syafi'i, Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini _hasan shahih_.

Hadits ini adalah dalil bahwa siapa yang menyentuh dzakarnya wajib berwudlu. Terlebih lagi jika ia menyentuh dubur (anus) dan menyentuh kemaluan orang lain. Semua hal tersebut mewajibkan wudlu walaupun menyentuh farjinya anak kecil atau orang yang sudah meninggal, baik secara sengaja ataupun tidak, dengan syahwat ataupun tidak, baik yang disentuh adalah farji yang sempurna atau cacat, dan masih tersambung dengan badan ataupun sudah terpisah.


Yang dimaksud menyentuh yang membatalkan wudlu di sini adalah menyentuh dengan bagian dalam telapak tangan walaupun dalam kondisi cacat.


Adapun farji yang terpotong maka tempat terpotongnya itu sama dengan farji (mewajibkan wudlu jika disentuh) karena dia adalah asal dari farji.


Yang dimaksud dengan farji di sini adalah farji manusia. Maka menyentuh farji hewan tidak membatalkan wudlu.


Selain telapak tangan bagian dalam dikecualikan (hukumnya) dari telapak tangan bagian dalam tersebut seperti ujung jari dan sela-sela jari. Maka menyentuh farji dengan bagian tersebut tidak mewajibkan wudlu. Pengkhususan hukum ini bagi telapak tangan bagian dalam adalah sebab rasa nikmat terdapat pada bagian tersebut. Hal ini juga berdasarkan kabar ibnu Hibban. Beliau berkata:

إذا أفضى أحدكم بيده إلى فرجه وليس بينهما ستر ولا حجاب فليتوضأ.

"Jika salah seorang dari kalian menyentuh farjinya dengan (telapak) tangan (bagian dalam) tanpa adanya penghalang maka wajib berwudlu."


Adapun kabar dari Thalq bin Ali bahwasanya Rasulullah ditanya tentang menyentuh dzakar saat shalat, beliau bersabda:

هل هو إلا بَصعَة منك

"Dia tidak lain hanya bagian dari tubuhmu (seperti halnya menyentuh bagian tubuh yang lain itu tidak membatalkan wudlu, maka begitu juga dengan menyentuh farji)."

maka hadits ini dihukumi _dha'if_ (lemah) atau telah di- _naskh_ (dihapus hukumnya) oleh hadits dari Busroh di atas atau kemungkinan dipahami dengan menyentuh dengan penghalang (kain atau lainnya) sebagaimana kondisi seseorang yang sedang shalat.

Selasa, 14 November 2023

Cara membersihkan Madzi

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ (30)*

Dalil Bahwa Madzi Najis dan Mewajibkan Wudlu


عن أَمِيرِ المُؤمِنِينَ عَلِيٍّ رضي الله عنه قَالَ: كُنتُ رَجُلًا مَذَّاءً فَأَمَرتُ المِقدَادَ أَن يَسأَلَ النَّبِيَّ فَسَأَلَهُ فَقَالَ: فِيهِ الوُضُوءُ. رواه الشيخان


Dari pemimpin umat Islam (amirul mukminin) sayyiduna Ali -semoga Allah meridlainya-, beliau berkata: "Saya dahulu orang yang banyak mengeluarkan madzi. Kemudian saya menyuruh al Miqdad untuk bertanya kepada Nabi tentang hal itu. Kemudian Rasul menjawab: "Wajib wudlu." (H.R. Al Bukhari dan Muslim)


Perkataan beliau "كنت رجلا مذّاء" ada kemungkinan ini cerita masa lalu dan sudah tidak terjadi lagi ketika beliau mengabarkannya, dan ada kemungkinan seperti firman Allah "كنتم خير أمة" (dan ini yang lebih zhahir), yakni bahwasanya lafazh "كان" di sini adalah untuk menunjukkan terus menerus sehingga arti ayat tersebut adalah bahwa umat Nabi Muhammad tetap menjadi umat terbaik hingga sekarang.


Kata "مذّاء" (madzdza'an) artinya orang yang banyak mengeluarkan madzi. Madzi adalah cairan yang berwarna bening/putih (tidak seperti putihnya mani) atau berwana kuning, menurut pendapat lain, yang keluar ketika awal naiknya syahwat (bukan saat kuatnya syahwat) dan tidak diiringi dengan menurunnya syahwat setelah cairan tersebut keluar.


Dalam riwayat ibnu Hibban, disebutkan bahwa sayyiduna Ali menyuruh Ammar bin Yasir untuk bertanya. Sedangkan dalam riwayat ibnu Khuzaimah, sayyiduna Ali bertanya sendiri kepada Rasulullah. Lalu ibnu Hibban menghimpun dan menyimpulkan semua riwayat ini lalu mengatakan: "Kemungkinan, beliau awalnya menyuruh Ammar kemudian menyuruh al Miqdad dan setelah itu, beliau bertanya sendiri kepada Rasulullah."


Dalam riwayat al Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa sayyiduna Ali malu untuk bertanya langsung kepada Nabi karena ada sayyidah Fathimah yang merupakan putri Nabi dan juga istri sayyiduna Ali. Sehingga beliau menyuruh al Miqdad untuk bertanya kepada Nabi. Kemudian Rasulullah bersabda:

 يغسل ذكره ويتوضأ

"Dia (harus) membasuh dzakarnya kemudian berwudlu."



Hadits ini menjadi dalil beberapa hal berikut:

1. Madzi itu tidak mewajibkan mandi akan tetapi mewajibkan wudlu;
2. Boleh mewakilkan orang lain untuk bertanya;
3. Boleh berpegangan kepada kabar yang kebenarannya masih dalam ranah dugaan meskipun mampu untuk mengambil kabar yang pasti kebenarannya, karena sayyiduna Ali mencukupkan diri untuk menyuruh orang lain bertanya padahal ia mampu untuk bertanya sendiri.


Riwayat terakhir adalah dalil bahwa madzi itu hukumnya najis karena diwajibkannya membasuh dzakar. Kemudian para ulama berbeda pendapat tentang bagian yang wajib dibasuh. Al Imam Asy-Syafi'i dan mayoritas ulama mengatakan wajib membasuh tempat najis saja. Sementara sebagian ulama selain mereka mengatakan wajib membasuh seluruh dzakar karena mengamalkan zhahir hadits tersebut.

Minggu, 12 November 2023

Orang yang Haidl Dilarang Shalat

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ 29*

Dalil Bahwa Orang yang Haidl Dilarang Shalat

عَن عَائشَة رضي الله عَنها أَنَّ فَاطِمَةَ بِنتَ أَبِي حُبَيشٍ سَأَلَتِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَت: إِنِّي أُستَحَاضُ أَفَأَدَعُ الصَّلاَةَ ؟ فَقَالَ: لَا، إِنَّ دَمَ الحَيضِ أَسوَدُ يُعرَفُ فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَأَمسِكِي عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى يَنقَطِعَ فَإِذَا كَانَ الآخَرُ فَتَوَضَّئِي وَصَلِّي فَإِنَّمَا هُو عِرقٌ. رواه أبو داود

Dari 'Aisyah -semoga Allah meridloinya- bahwasanya Fathimah binti Abi Hubaisy bertanya kepada Nabi, dia berkata: "Sesungguhnya saya sedang istihadlah. Apakah saya boleh meninggalkan shalat?" Rasul menjawab: "Tidak boleh, karena sesungguhnya darah haidl warnanya hitam seperti yang telah diketahui. Kalau seperti itu (berwarna hitam) maka jangan shalat sampai berhenti darahnya. Kalau selain itu (yaitu darah istihadlah) maka berwudlulah dan shalatlah karena dia adalah darah penyakit."


Dalam hadits ini, terdapat dalil akan adanya haidl dan wajib untuk meninggalkan shalat ketika haidl serta dalil wajibnya wudlu setelah berhenti keluarnya sesuatu dari kemaluan (farj).


Hadits ini adalah dalil (1) bahwa siapa yang mengalami sesuatu hendaklah bertanya tentang hal tersebut, (2) bahwa perempuan boleh berbicara dengan laki-laki untuk bertanya tentang apa yang terjadi padanya, dan (3) dalil bolehnya mendengarkan suara perempuan baik dalam kondisi perlu atau tidak.


Bukan aib bagi seorang perempuan bertanya kepada laki-laki. Sayyidah 'Aisyah -semoga Allah meridlainya- pernah berkata (yang maknanya): "Semoga Allah merahmati para perempuan dari kalangan Anshar, karena rasa malu mereka tidak menghalangi mereka untuk belajar ilmu agama."


Haram bagi orang yang haidl untuk melaksanakan shalat. Hal itu didasarkan juga pada hadits yang diriwayatkan oleh al Imam al Bukhari dan al Imam Muslim:

أليس إذا حاضت المرأة لم تصل ولم تصم

"(Ketika Rasul menjelaskan bahwa perempuan itu kurang agamanya, beliau memberikan alasan) bukankah perempuan ketika haidl, tidak shalat dan tidak puasa?!"


Adapun orang yang mengalami istihadlah maka kondisinya seperti orang yang _salis_ (terus menerus mengeluarkan kencing). Tidak diharamkan baginya apa yang diharamkan kepada orang yang haidl. Maka orang yang istihadlah wajib membasuh farjinya kemudian menutupinya (menyumpalnya/menyumbatnya) dengan semisal kapas kemudian dibalut dengan kencang (setelah disumbat) dengan kain yang ditali seperti celana. Hal ini (menyumbat dan mengikatnya dengan kain) wajib jika memenuhi persyaratannya, yaitu (1) dia memerlukan hal tersebut, (2) tidak tersakiti dengan hal itu dan (3) dia bukan orang yang berpuasa. Sedangkan untuk orang yang berpuasa, wajib meninggalkan hal tersebut (menyumbat) ketika siang hari. Kalau seandainya darah tetap keluar setelah disumbat dan diikat maka tidak apa-apa.

Sabtu, 11 November 2023

Bagian Khuf yang disapu

*_al-I'lam bi Ahaditsi al-Ahkam_ 28*

Dalil yang wajib di usap pada khuf adalah bagian atas.

عن أمير المؤمنين علي رضي الله عنه قال لو كان الدِينُ باِلرَأيِ لَكَانَ أَسفَلُ الخُفِّ أَولَى بِالمَسحِ مِن أَعلاهُ وَقَد رَأَيتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَمسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيهِ رواه أبو داود والبيهقي 

Dari pemimpin umat islam sayyiduna Ali bahwasanya beliau berkata: "kalau seandainya agama itu pedoman hanya akal saja maka bagian bawah khuf itu lebih utama untuk di usap daripada bagian atas, dan saya telah melihat Rosulullah mengusap bagian atas khuf".



Perkataan al imam Ali bagian bawah lebih utama untuk diusap karena memang yang terkena kotoran, akan tetapi penggunaan pendapat / akal disni ditinggalkan karena memang ada nash yang mewajibkan mengusap pada bagian atas, dan telah tetap wajib mengusap atas tanpa bawah, yang mu'tamad di dalam sebuah rukhsoh ( keringanan ) adalah dengan mengikuti nabi, maka yang wajib hanya mengusap bagian atas sedangkan bagian bawah sunnah di usap dengan yang atas karena dia mengikuti bagian atas karena keduanya memang bagian yang bersambung.



Disyaratkan agar dapat mengusap khuf

-Memakai khuf setelah suci dari dua hadats kalau memakainya sebelum membasuh kaki dalam wudhu dan membasuhnya malah didalam khuf maka tidak boleh mengusap kecuali melepasnya kedua khuf lalu memasukan kakinya lagi kedalam nya.
Kalau memasukkan salah satu khuf setelah membasuh kaki yang satu kemudian membasuh kaki yang lain lalu memasukkanya maka tidak boleh mengusap juga kecuali melepas khuf pada kaki yang pertama kemudian memakainya lagi.



-khuf itu menutupi kaki yang wajib dibasuh dalam wudhu yaitu kaki dan mata kaki dari semua sisi kecuali atas ( tidak disyaratkan menutupi bagian atas ) maka cukup khuf yang lebar sehingga terlihat kaki dari lubang tempat masuk kaki pada khuf tersebut. 


Kalau khuf nya robek pada bagian yang wajib dibasuh pada kaki maka itu tidak boleh mengusap, kalau bagian dalam khuf robek akan tetapi bagian luar nya masih kuat, begitu juga sebaliknya bagian luar robek akan tetapi bagian dalam masih kuat maka tetap bisa di usap.



-Disyaratkan khuf adalah suci maka tidak cukup najis atau terkena najis karena sholat tidak sah denganya yang itu ( sholat ) adalah maksud yang asli dari mengusap, maka selain sholat seperti menyentuh mushaf itu mengikuti sholat.


-Dapat mencegah masuk nya air ke kaki selain dari tempat jahitan seandainya khuf tersebut disiram air.


-Khuf tersebut dimungkinkan untuk dipakai oleh musafir dalam berjalan ( tanpa alas lain dibawahnya seperti sendal ) untuk memenuhi hajat nya ( cukup dibuat berjalan sekitar setengah jam ).

Jumat, 10 November 2023

Berapa Hari bisa Mengusap khuf

*_al-I'lam bi Ahaditsi al-Ahkam_ 27*

Dalil bahwa seorang musafir ( berpergian ) boleh mengusap khuf selama tiga hari tiga malam sedangkan orang yang bermukim boleh mengusap selama satu hari satu malam.


عن أبي بَكرَةَ رضي الله عنه قَال أَرخَصَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لِلمُسَافِر ثَلاثَةَ أَيَّام وَلَيَاليَهّن وللمُقِيم يَومٍا وليلةً إِذَا تَطَهَّر فَلَبِسَ خُفَّيه أَن يَمسَحَ عَلَيهِمَا رواه الدارقطني


Dari abi Bakroh semoga Allah meridhoinya berkata bahwasanya Rosulullah memberikan keringanan untuk orang yang berpergian ( boleh mengusap khuf ) selama tiga hari tiga malam, dan untuk orang yang mukim ( boleh mengusap ) sehari semalam jika sudah suci kemudian memakai khuf agar bisa mengusap nya ( dengan waktu yang telah ditentukan tersebut )

Dimualainya waktu tersebut ( tiga hari untuk musafir dan sehari untuk mukim ) dari waktu terakhir berhadast setelah memakai khuf.


seandainya waktu sudah berjalan dan belum mengusap khuf ( dan telah lewat dari waktu yang ditentukan ) maka waktu nya tetap dikatakan habis, tidak boleh mengusap khuf sehingga melepasnya dan memulai dari awal memakainya setelah bewudhu.


Seandainya mengusap khuf dalam kondisi mukim kemudian berpergian ( dengan jarak yang dibolehkan untuk mengqoshor sholat ) atau sebaliknya ( mengusap ketika kondisi berpergian lalu dia bermukim ) maka dalam dua kondisi tersebut tidak melanjutkan waktu untuk orang musafir ( berpergian ) karena mukim lebih unggul dari safar ( berpergian ) karena dia adalah asal, maka dalam kondisi pertama boleh mengusap hanya sehari semalam begitu juga dengan kondisi kedua, jika dia dalam kondisi mukim dan belum habis masa nya ( belum ada sehari semalam ) kalau sudah ada sehari semalam maka wajib mencopot khuf.



Adapun yang boleh mengusap khuf pada waktu yang telah ditentukan tersebut adalah kepada selain orang yang selalu berhadast dan orang yang bertayamum bukan karena tidak menemukan air, adapun keduanya boleh mengusap khuf pada sholat sholat yang dibolehkan baginya seandainya masih dalam kondisi suci yang ketika memakai khuf yaitu satu fardhu dan sunnah sunnah, atau sunnah sunnah saja jika hadast nya setelah menunaikan fardhu, maka tidak mengusap kecuali untuk hal yang sunnah sunnah saja, karena mengusapnya itu berkaitan dengan kesucianya, dan ia tidak memberikan faidah kecuali hal tersebut, kalau seandainya keduanya ingin menuanaikan fardhu ( kewajiban ) yang lain maka wajib melepas khuf dan berwudhu secara sempurna, karena ia dihukumi berhadast jika dinisbatkan kepada yang lebih dari satu fardhu dan sunnah sunnah, maka dia benar benar seperti orang yang memakai khuf dalam keadaan hadats.


Adapun kalau orang yang tayamum karena tidak mendapati air maka tidak boleh mengusap ketika menemukan air, karena keadaan sucinya dikarenakan darurat ( tidak mendapati air ) dan telah hilang kondisi sucinya dengan hilang nya darurat tersebut ( ketika menemukan air ), begitu juga orang yang terus barhadats dan yang bertaymum bukan karena tidak menumukan air maka tidak mengusap ketika sudah hilang udzurnya.

Kamis, 09 November 2023

mengusap khuf

*_al-I'lam bi Ahaditsi al-Ahkam_ 26*

Dalil diperbolehkanya mengusap khuf ( dalam wudhu ) baik dalam kondisi berpergian atau tidak.

عن المغيرة بن شعبة رضي الله عنه قال كنتُ مَعَ النَّبِي صلى الله عليه وسلم فَتَوَضَّأَ فَأَهوَيتُ لأَنزِعَ خُفَّيهِ فقال دَعْهُما فَإِنّي أَدخَلتُهُمَا طَاهِرتَين فَمسَحَ عَليهِمَا رواه الشيخان 

Dari al Mughiroh ibni Syu'bah berkata: "saya bersama nabi beliau berwudhu kemudian saya mengulurkan tangan untuk melepaskan dua khuf nya lalu rosul bersabda jangan dilepaskan karena saya memasukkan dua kaki ku ( di khuf ini ) dalam kondisi suci ( sudah berwudhu )".

Hadits ini menunjukan bolehnya mengusap dua khuf dan kebolehan ini secara ijma' dalam kondisi berpergian atau tidak walaupun tanpa keperluan.


Telah meriwayatkan mengusap khuf banyak dari para sahabat akan tetapi membasuh dua kaki lebih utama karena itu adalah asal ( الأصل ).


Akan tetapi jika orang yang memakainya ( khuf ) sedang berhadats kemudian memiliki air hanya cukup untuk mengusap khuf maka dalam kondisi ini mengusap hukumnya wajib seperti halnya yang dituturkan oleh al Imam ar Ruyani.


Juga disunnahkan mengusap ( mengusap khuf lebih utama dari membasuh kaki ) dibeberapa kondisi :

-bagi orang yang merasa keberatan untuk mengusap khuf karena belum terbiasa maka dalam rangka untuk mendidik dirinya terhadap hal yang diberbolehkan dalam agama maka mengusap sunnah baginya ini makna perktaan para ulama dalam kitab fiqih ترك المسح رغبة عن السنة 


-bagi seoarang mujtahid yang tahu bahwa mengusap khuf itu boleh akan tetapi ada sebuah syubhah dalam dirinya tentang kebolehan mengusap maka pada kondisi ini mengusap baginya sunnah, ini makna perkataan ulama ترك المسح شكا في جوازه
Berarti bukan makna perkataan tersebut bahwa orang yang mengusap tidak tahu bahwa mengusap dalam syareat boleh apa tidak, karena orang yang bodoh tentang ini tidak sah ketika dia mengusap khuf.
Adapun dalam permasalahan ini kita contoh kan mujtahid karena muqollid ( pengikut mujtahid ) tidak memiliki keahlian dalam melihat dalil.


-bagi seseorang yang takut ketinggalan jamaah sholat, takut ketinggalan wuquf di Arofah atau takut ketinggalan dalam membebaskan tawanan perang dari musuh ( orang kafir ) maka ini disunnahkan mengusap bahkan dalam kondisi takut ketinggalan wuquf dan takut tidak bisa meyelamatkan tawanan ini hukum nya wajib mengusap karena tidak ada penggantinya jika sudah terlewatkan atau ada penggantinya tapi didapati dengan susah payah.


Dalam hadits ini menjadi dalil juga disyaratkanya dua kaki dalam kondisi suci untuk bisa dipakai dua khuf tersebut sehingga tidak cukup membasuh satu kaki dalam wudhu lalu memasukanya kedalam khuf kemudian membasuh yang kaki sebelah nya dan memasukanya kedalam khuf.


Mengusap tidak cukup kecuali bagian atas khuf, dan tidak boleh menggabungkan antara membasuh kaki dan mengusap khuf seperti dengan membasuh salah satu kaki kemudian mengusap khuf pada kaki yang lain.

Rabu, 08 November 2023

disunahkanya wudhu dengan air ukuran satu mud dan mandi dengan empat mud.

*_al-I'lam bi Ahaditsi al-Ahkam_ 25*

Dalil disunahkanya wudhu dengan air ukuran satu mud dan mandi dengan empat mud.

عن أنس رضي الله عنه كان النبي صلى الله عليه وسلم يَتَوَضَّأُ بِالمُدّ وَيِغتَسِلُ بِالصَّاع إِلَى خَمسَةِ أَمدَاد رواه الشيخان 
Dari sahabat Anas beliau berkata bahwasanya Rosulullah berwudhu dengan ukuran satu mud dan mandi dengan dengan satu sho' ( empat mud ) sampai lima mud.


Dzhohir dari hadits ini adalah disunnahkan untuk membatasi dengan satu mud dan satu sho' , ( sebagian ulama menjelaskan bahwa nabi secara kebiasaan memang seperti itu tapi sebagian ulama yang lain mengatakan tidak seperti itu ).


Dzhohir pendapat al imam as Syafi'i dan para ashabul wujuh disunnahkan air wudhu tidak kurang dari satu mud dan untuk mandi tidak kurang dari satu sho' maka pendapat tersebut lebih umum dari yang disebutkan ( dari dzhohir hadits tersebut ).


Kalau berwudhu sampai enam mud itu tidak menyalahi sunnah sedangkan lebih dari itu dengan tambahan yang sangat banyak maka tidak diterima wudhu nya ( bukan berarti tidak sah ).


Al imam an Nawawi dan ar Rofi'i menjelaskan bahwa ukuran satu mud dan sho' adalah secara perkiraan saja bukan sebuah hal yang pasti harus dengan satu mud atau satu sho' .



Para ulama telah sepakat bahwa air yang digunakan dalam wudhu dan mandi tidak disyaratkan ukuran tertentu bahkan kalau sudah merata keseluruh anggota wudhu atau seluruh tubuh ( dalam mandi ) maka hal tersebut dianggap cukup berapapun ukuran air yang digunakan.


Ukuran satu mud adalah dua cangkupan tangan dengan ukuran tangan yang sedang, sedangkan satu sho' itu ukuran empat mud.


Al imam as Syafi'i mengatakan : "terkadang pemakaian air yang sedikit dan itu sudah cukup, sebaliknya pemakaian air yang banyak ( boros ) malah tidak cukup".


Ijma' telah menunjukan bolehnya kurang dari sho' dan mud, juga hadits rosul yang diriwayatkan oleh al imam Muslim dari Aisyah
كنت أغتسل أنا والنبي صلى الله عليه وسلم من إناء واحد يسع ثلاثة أمداد او قريبا من ذلك

Hadits ini menunjukan bahwa nabi dan asiyah mandi dari wadah satu yang cukup untuk tiga mud atau kurang lebih seperti itu.


Begitu juga ditunjukan dengan hadits an Nasa'i dari ummi Ummaroh al anshoriyyah berkata bahwa Rosulullah wudhu denga wadah seukuran sepetiga mud.


Catatan : dimakruhkan isrof ( berlebihan dalam menggunakan air dalam wudhu dan mandi ) walaupun ia di pinggir laut ( di pantai), dikatakan juga bahwa hal tersebut hukum nya harom.


Sudah jelas jika al isrof dengan air masjid yang diwaqofkan maka hukum nya harom.

Senin, 06 November 2023

Dalil diwajibkanya tartib dalam berwudhu

*_al-I'lam bi Ahaditsi al-Ahkam_ 24*

Dalil diwajibkanya tartib dalam berwudhu

عن أبي عبد الله جابر بن عبد الله قال قال النبي صلى الله عليه وسلم ابدَؤُوا بِمَا بَدَأ اللهُ بِه رواه النسائي

Dari Jabir bin Abdillah berkata bahwasanya Rosulullah bersabda mulailah dari apa yang Allah mulai denganya 


Hadist ini sebagai dalil wajib nya tartib dalam berwudhu

Lafadz ما pada hadits diatas adalah umum maka tetap dimakanai umum sebagaimana lafdz nya.


Al imam Romli berkata ( dalam mengambil dalil terhadap wajib nya tartib ) : " wajib tartib karena rosul tidak berwudhu kecuali secara tartib, kalau seandainya tidak wajib maka rosul akan meninggalkan nya dalam suatu waktu, atau menjelaskannya bahwa perkara tersebut adalah boleh bukan wajib, juga berdasarkan hadits shohih ابدؤوا بما بدأ الله به yang mencakup wudhu walaupun hadist ini disabdakan rosul didalam haji, maka yang dijadikan pedoman adalah umumnya lafdz, kemudian dikarenakan Allah dalam al qur'an menyebutkan mengusap kepala diantara dua anggota yang dibasuh yaitu wajah dan dua tangan, dan memisahkan dua hal yang sejenis ( dalam hal ini dua anggota yang dibasuh ) tidak dilakukan dalam bahasa arab kecuali dengan sesuatu yang mengandung faidah dan pada hal ini menunjukan wajibnya tartib, dengan dalil adanya perintah terhadap hal tersebut, karena orang arab kalau menyebutkan sesuatu yang diathofkan memulai dari yang paling dekat kemudian yang dekat darinya, adapun kalau disebutkan wajah lalu tangan kemudian kepala lalu kaki ini menunjukan wajib nya tartib, kalau tidak wajib tartib maka akan disebutkan ( dari yang terdekat kemudian dekatnya lagi ) membasuh wajah kemudian kepala kemudian tangan kemudian kaki, karena hadits yang sangat banyak memang menunjukan wajib nya tartib dan ayat memang menjelaskan yang wajib dalam wudhu".

Minggu, 05 November 2023

Wajib mengusap kepala

*_al-I'lam bi Ahaditsi al-Ahkam_ 23*

Dalil yang wajib diusap dari kepala adalah sebagian saja ( bagian dari kepala ) bukan seluruh nya.


عن المُغِيرَةِ ابنِ شُعبَة أَنَّ النَّبِيَّ تَوَضَّأَ فَمَسَح بِنَاصِيَتِه وَعَلَى العِمَامَة رواه مسلم

Dari al Mughiroh ibn Syu'bah berkata bahwasanya Rosulullah berwudhu dan mengusap bagian depan dari kepala nya, dan mengusap sorban nya.


Ini adalah dalil yang menunjukan cukupnya mengusap sebagian kepala dan tidak harus mengusap seluruhnya, karena jika wajib seluruh kepala mengapa rosul mencukupkan mengusap sorbanya dari sisa bagian kepala ( yang belum diusap ), karena mengumpulkan asal ( الاصل ) dan pengganti ( البدل ) di anggota yang satu tidak boleh ( kalau seandainya yang wajib mengusap seluruh kepala maka nabi akan mengusap seluruh kepala atau mengusap seluruh sorbanya ) seperti tidak bolehnya mengusap khuf pada satu kaki akan tetapi membasuh kaki yang lainya.



Disunnahkan untuk menyempurnakan ( mengusap kepala ) dengan mengusap sorban ( dari bagian kepala yang belum terusap ) agar sempurna thoharoh nya di seluruh bagian kepala baik dalam kondisi sulit mencopot sorban tersebut dari kepala ataupun tidak, juga baik memakai sorban tersebut dalam kondisi suci ( sudah berwudhu ) ataupun tidak.



Kalau seandainya mencukupkan mengusap sorban saja tanpa mengusap kepala maka hal ini tidak diperbolehkan, berdasarkan firman Allah وامسحوا برؤوسكم
sorban bukanlah kepala, dan kepala adalah bagian anggota wudhu yang sucinya dengan diusap, maka tidak boleh mengusap penghalang tanpa mengusap kepala.



Didalam hadist disebutkan kepala dengan memakai huruf ba' بناصيته sedangkan pada sorban memakai huruf على ini adalah sebagai isyaroh untuk sesuai dengan ayat yang menunjukan bahwa mengusap sebagian kepala itu dianggap cukup, dan kata الرأس ( kepala ) merupakan isim jins ( bisa diucapkan untuk seluruh kepala atau sebagian / bisa diucapkan untuk sedikit atau banyak ), sedangkan kata على ناصيته itu merupakan isyaroh bahwa telah dianggap menyempurnakan usapan seluruh kepala, dengan ( menyempurnakan ) mengusap diatas sorban.


Seperti sorban pada hadits diatas adalah peci dan kerudung bagi perempuan.

Sabtu, 04 November 2023

Mendahulukan Bagian Kanan dalam hal kebaikan barunyang kiri.

*_al-I'lam bi Ahaditsi al-Ahkam_ 22*

Dalil disunnahkan mendahulukan bagian kanan dalam hal yang memiliki nilai kemulyaan dan keindahan seperti masuk masjid 


 عن عائشة رضي الله عنها قالت كان النبي صلى الله عليه وسلم يُعجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِه وَتَرُّجُّلِه وَطُهُورِه وَفِي شَأنِه كُلِّه رواه الشيخان

Dari Aisyah semoga Allah meridhoinya berkata bahwasanya Rosulullah menyukai untuk melakukan sesuatu dengan bagian kanan nya dalam memakai sendal, menyisir rambut, bersuci dan seluruh hal yang memiliki nilai kemuliaan dan keindahan.


Segala hal yang mmiliki nilai kemuliaan seperti memakai baju, celana, khuf, masuk ke dalam masjid, keluar dari kamar kecil, memotong kuku, memakai cincin dan bersiwak ( ketika bersiwak memulai dengan bagian kanan dari mulut dan memegangi siwak dengan tangan kanan nya ), karena itu adalah karena kemulyaan bagian kanan maka dikhususkan dengan berbagai kebaikan, juga karena kanan diharapkan untuk mengambil kitab di hari kiamat maka didahululan dalam perbuatan-perbuatan yang baik.


Adapun kalau tidak dalam rangka kemulyaan dan keindahan seperti masuk kamar kecil, keluar dari masjid, istinjak, melepas baju dan sendal maka dimulai dengan bagian kiri, adapun dimulai dengan tangan kiri karena hal itu sesuai dengan perbuatan tersebut juga berdasarkan hadits rosul dari Aisyah 
كان رسول الله يجعل يمينه لطعامه وشرابه ويجعل يساره لما سوى ذلك 
Rosulullah menjadikan bagian tangan kanan untuk makanan dan minuman, sedangkan selainya ( yang tidak dalam rangka memulyakan dan keindahan ) maka menjadikanya dengan tangan kiri.


Kalau seandainya dibalik, dengan membasuh duluan bagian kiri dalam wudhu kemudian baru bagian kanan maka wudhu nya tetap sah, akan tetapi hal ini dimkaruhkan, karena adanya pelarangan tentang hal tersebut dalam hadits yang diriwayatkan ibnu Hibban, akan tetapi pelarangan tersebut bermakna makruh bukan haram berdasarkan ijma' yang menunjukan hal tersebut seperti halnya tidak dimaknai wajib ( karena ijma' ini ) dalam perintah mendahulukan bagian kanan dalam hadist 
إذا توضأتم ابدؤوا بميامنكم
Jika kalian berwudhu maka dahulukanlah bagian kanan.


Dikecualikan pendahuluan bagian kanan dalam beberapa hal seperti dua pipi, dua mata, dua telinga dan dua telapak tangan maka tidak disunnahkan untuk mendahulukan bagian yang kanan akan tetapi dibasuh secara bersama sama kecuali kalau dalam kondisi memiliki tangan satu maka tetap disunahkan untuk mendahulukan membasuh yang kanan pada bagian bagian tersebut. 



Faidah : kalau senadainya ingin keluar dari masjid dan memakai sendal maka keluar dari masjid dengan kaki kiri nya lalu meletakkannya diatas sendal nya yang kiri tanpa menggunakanya, kemudian keluar dengan kaki kanan dan memakai sendalnya yang bagian kanan, kemudian memakai sendal yang bagian kiri.


Disunnahkan ketika seseoarang menguap untuk menutupinya, lalu apakah menggunakan tangan kanan seperti dalam memakai sendal atau tangan kiri seperti halnya ketika istinjak, ada dua kemungkinan menurut al Muhib at Thobari lalu beliau mengatakan yang lebih cocok adalah dengan tangan kiri nya.

Selasa, 31 Oktober 2023

menyela nyela jenggot dengan air dalam berwudhu

*_al-I'lam bi Ahaditsi al-Ahkam_ 20*

Dalil disunnahkan takhlil lihyah ( menyela nyela jenggot dengan air dalam berwudhu )

عن أبي عمرو أمير المؤمنين عثمان بن عفان قال قال النبي صلى الله عليه وسلم كَانَ النَّبِي صلى الله عليه وسلم يُخَلِّل لِحيَتَه فِي الوُضُوء رواه الترمذي

Dari abu Amr Utstaman ibni Affan berkata bahwasanya Rosulullah bersabda nabi dahulu menyela-nyela jenggot nya dengan air di dalam wudhu nya 

Takhlilul lihyah ( menyela nyela jenggot ) merupakan kesunahan jika itu tebal dan jenggot nya Rosulullah dulu tebal ( tidak terdapat dalam hadits bahwa panjangnya segenggam juga tidak terdapat bahwasanya panjangnya sedada ).


Takhlil ( menyela nyela ) dengan cara memasukkan jari dari bawah jenggot setelah merenggangkan jari dan seperti jenggot dalam hal ini seluruh rambut wajah yang tebal yang keliur dari batasan wajah.

Ukuran jenggot yang dikatakan lebat adalah sekira tidak terlihat kulit nya dalam jarak orang yang melakukan percakapan, adapun tipis kebalikan dari tebal atau lebat.

Semua hukum ini adalah untuk laki-laki adapaun peremuan dan khuntsa maka wajib membasuh semuanya baik bagian luar ataupun dalam, baik jenggotnya lebat ataupun tipis.


Ringkasan masalah : rambut ( bulu ) yang tumbuh di wajah jika tidak keluar dari batasan wajah kalau ia merupakan yang jarang ditemuakan lebat seperti bulu mata, rambut yang tumbuh dibawah bibir ( anfaqoh ) dan jenggot perempuan dan khuntsa maka wajib membasuhnya ( dalam wudhu ) baik bagian luar maupun dalam, baik dia kondisi tebal ataupun tipis.

Kalau ia merupakan rambut yang tidak jarang ditemukan tebal yaitu jenggot laki laki dan dua cambang nya kalau ia tipis maka wajib dibasuh bagian luar dan dalam, adapun kalau tebal ( lebat ) wajib membasuh bagian luar saja.


Adapun rambut wajah yang tumbuh sampai keluar dari batas wajah kalau ia tebal maka wajib membasuh bagian luar saja baik ia yang biasa tumbuh lebat ataupun tidak seperti jenggot perempuan, adapun kalau tipis maka wajib membasuhnya bagian luar dan dalam.

Senin, 30 Oktober 2023

Dalil menyela-nyela Jari-jari ketika berwudhu

*_al-I'lam bi Ahaditsi al-Ahkam_ 19*

Dalil disunahkanya takhlil ( meenyela nyela diantara jari dengan air dalam wudhu ), serta mubalaghoh dalam istinsyaq disertai masalah mubalaghoh dalam berkumur.

عن أبي لقيط بن عامر بن صبرة رضي الله عنه قال قال النبي صلى الله عليه وسلم أَسبِغِ الوُضُوء وَخَلِّل بَينَ الأِصِابِع وَبالِغ في الاستِنشَاق إِلَا أَن تَكُونَ صائما رواه الترمذي وغيره 

Dari abu Laqith ibni Amir ibni Shobiroh berkata bahwasanya Rosulullah bersabda ratakanlah anggota wudhu dengan air, sela salakanlah diantara jari jemari dengan air dan hiruplah air dengan nafas sampai khoisyum kecuali engkau dalam kondisi berpuasa ( maka jangan lakukan itu karena ditakutkan batal puasanya )


Takhlil ( menyela nyela jari dengan air ) pada jari tangan dengan cara tasybik ( menyelakan jari tangan kanan ke kiri ), sedangkan pada kaki dengan menyela-nyela menggunakan jari kelingking kiri melalui jari kaki bagian bawah dengan memulai pada kelingking jari kaki bagian kanan dan diakhiri dengan jari kelingking kaki kiri.


Dalam sebuah riwayat dari abu Dawud disebutkan إذا توضأت فمضمض jika kalian berwudhu maka berkumurlah, melebih lebihkan dalam berkumur ( mubalaghoh ) untuk selain orang yang berpuasa karena adanya perintah dalam riwayat ad Dhulabi dengan cara menyampaikan air ke ujung langit langit mulut dan bagian muka dari gigi dan gusi.

Dikatakan seorang yang berpuasa juga melebih lebihkan dalam berkumur ( mubalaghoh ) seperti cara diatas, karena dimungkinkan bagi nya untuk mencegah air masuk ke dalam rongga dengan menutup tenggorokanya berbeda halnya dengan istinsyaq, akan tetapi yang diambil adalah pendapat pertama, karena tidak dirasa aman dari berlebih lebihan dalam berkumur tersebut dari tertelanya air.


Mubalaghoh ini ( dalam berkumur ) adalah kesunahkan bukan kewajiban, dan perintah dalam hadits dimaknai dengan sunnah berdasarkan hadits توضأ كما امرك الله
Berwudhulah seperti yang diperintahkan oleh Allah,sedangkan mubalghoh dalam berkumur tidak ada dalam perintah tersebut.