This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 28 November 2023

disunnahkannya membuat penghalang dari pandangan orang ketika buang hajat

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ (39)*

Dalil Kesunnahan Membuat Penghalang (Penutup) dari Pandangan Orang ketika Buang Hajat


عن عائشة رضي الله عنها قالت: قال النبي صلى الله عليه وسلم: مَن أَتَى الغَائِطَ فَليَستَتِر. رواه أبو داود

Dari Aisyah -semoga Allah meridlainya- berkata: "Rasulullah _shallallahu 'alayhi wasallam_ bersabda : "Barangsiapa yang datang ke tempat buang hajat maka hendaklah ia membuat tutup." (H.R. Abu Dawud)


Hadits ini adalah dalil disunnahkannya membuat penghalang dari pandangan orang ketika buang hajat. Penghalang tersebut memiliki tinggi dua pertiga dzira' dan jarak antara seseorang dengan penghalangnya tiga dzira' atau kurang. Ini jika di padang pasir atau di bangunan yang tidak mungkin untuk diberi atap. Kalau di bangunan yang beratap atau mungkin untuk diberi atap maka hal tersebut sudah cukup menjadi penutup/penghalang.


As-Syaikh Zakaria menjelaskan bahwa hal ini sunnah jika di sana tidak ada orang lain yang tidak menutup matanya untuk melihatnya dan dia termasuk orang yang haram melihat auratnya (orang yang buang hajat). Kalau tidak (kalau ada orang yang membuka matanya dan ia termasuk orang yang haram melihat auratnya) maka hukum menutupi darinya wajib.

Pendapat yang diungkapkan oleh asy-Syaikh Zakaria ini adalah pendapat yang lemah. Sedangkan pendapat yang kuat, baik dia menutup matanya atau tidak selagi ia adalah orang yang haram melihat aurat orang yang buang hajat maka ia wajib menutupi darinya.

Kalau yang berada di situ adalah orang yang boleh melihat auratnya seperti istri maka tidak wajib menutup akan tetapi lebih baik untuk menutup.


Faidah penting:
- Pertama: Kalau ada dua orang kencing dengan saling membelakangi (punggung dengan punggung) yang satu menghadap ke satu arah dan yang lain ke arah berlawanan maka ini tidak haram.

- Kedua: Hadits ini datang dari sayyidah Aisyah dan juga terdapat banyak hadits-hadits lain yang dinukil dari para istri Nabi. Ini adalah hikmah dari banyaknya istri Nabi.

Senin, 27 November 2023

Tata Cara Istinja Menggunakan batu

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ (38)*

Dalil Bahwa Istinja' dengan Batu Wajib dengan Tiga Usapan (Memakai Tiga Sisi Batu Atau Tiga Buah Batu)


  عن أبي عبد الله سلمان رضي الله عنه لقد نهانا النبي صلى الله عليه وسلم أن نَستَنجِيَ بِأَقَلَّ مِن ثَلَاثَةِ أَحجَارٍ وَأَن نَستَنجِيَ بِرَجِيعٍ أَو عَظمٍ. رواه مسلم

Dari Abu Abdillah Salman -semoga Allah meridlainya- bahwasanya beliau berkata: "Rasulullah _shallallahu 'alayhi wasallam_ telah melarang kita untuk istinja' dengan lebih sedikit dari tiga buah batu, juga istinja' dengan kotoran hewan atau istinja' dengan tulang." (H.R. Muslim)


Wajib istinja' dengan tiga buah batu walaupun najis sudah hilang dengan dua buah batu. Akan tetapi yang dimaksud di sini adalah tiga usapan dari sisi-sisi berbeda dari satu buah batu. Akan tetapi memakai beberapa batu lebih utama dari pada satu buah batu (yang memiliki tiga sisi).


Disebutkan batu dalam hadits di atas padahal cukup juga dengan selain batu adalah sebab pada umumnya memang menggunakan batu. Benda yang semakna dengan batu adalah semua yang padat, mampu mencongkel najis, suci dan bukan sesuatu yang dimuliakan.


Jika telah bersih/suci dengan tiga usapan maka sudah cukup. Jika tidak, maka harus menambah usapan sampai bersih. Jika dengan menambah usapan sudah bersih dengan mengusapnya dalam jumlah ganjil maka sudah cukup. Jika tidak, maka sunnah menambah usapan agar menjadi ganjil.


Rasulullah pada hadits ini, juga melarang kita untuk beristinja' dengan kotoran hewan karena itu adalah najis. Beliau juga melarang istinja' dengan tulang walaupun tulang yang suci karena Rasulullah bersabda:

فإنه طعام إخوانكم

"Karena tulang adalah makanan saudara-saudara kalian (yaitu jin)."

Maka, makanan manusia seperti roti lebih utama untuk dilarang digunakan dalam beristinja'.


Semakna dengan kotoran hewan, semua benda najis walaupun najis yang kering. Maka itu tidak cukup untuk istinja'. Kalau hal itu dilakukan maka wajib istinja' dengan air setelahnya, karena tempat najis sudah terkena najis dengan najis yang _ajnabi_ (bukan dari yang ia keluarkan).


Syarat menyucikan najis dengan batu:

1. Najis tersebut keluar dari farji. Maka tidak bisa istinja' dengan batu pada sesuatu yang keluar dari selain farji seperti lubang yang terbuka.

2. Sesuatu yang keluar tersebut (najis tersebut) belum kering. Kalau sudah kering maka wajib memakai air.

3. Pada najis tinja, najis belum melewati _shafhah_, yaitu bagian yang saling menutup/bergabung dari pantatnya jika orang tersebut berdiri. Sedangkan pada najis kencing, najis belum melewati _hasyafah_, yaitu kepala dzakar. Juga wajib istinja' dengan air bagi orang perempuan jika kencingnya sudah sampai ke bagian masuknya dzakar dari farjinya.

4. Najis tidak terputus dari tempat keluarnya. Jika terputus maka wajib istinja' dengan air pada bagian yang terputus.

5. Tidak berpindah dari tempat keluarnya.
Perbedaan antara najis terputus dan berpindah adalah sebagai berikut:
Disebut berpindah jika najisnya keluar duluan kemudian berada (menempel) pada tempat keluarnya lalu berpindah/mengalir ke tempat lain dengan bersambung/tanpa terputus. Sedangkan terputus adalah jika najisnya keluar langsung ke tempat lain tanpa bersambung.

6. Tidak kemasukan sesuatu yang lain (selain najis yang keluar darinya) baik sesuatu yang najis maupun sesuatu yang suci dan basah.

Membantah Tuduhan bahwa al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari mempunyai 3 fase pemahaman.

Ada sebagian orang, tepatnya bersumber dari kaum Wahabi, mengatakan bahwa al-Imâm Abul Hasan melewati tiga fase faham (ajaran) dalam hidupnya. Pertama; fase faham Mu’tazilah. Dua; fase mengikuti faham Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab. Dan ke tiga; fase kembali kepada faham Salaf dan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Mereka mengatakan bahwa di akhir hidupnya hingga wafat, al-Asy’ari kembali kepada ajaran Salaf. Fase ke tiga ini menurut mereka al-Asy’ari telah benar-benar menjadi seorang yang berfaham Ahlussunnah.

Lanjutan tuduhan mereka ini kemudian mengatakan bahwa kaum Asy’ariyyah (para pengikut al-Imâm Abul Hasan) mengikuti al-Imâm Abul Hasan hanya dalam fase kedua dari fahamnya, yaitu fase mengikuti faham Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab. Kaum Asy’ariyyah tidak mengikuti al-Asy’ari di fase ke tiga. Karena itu, menurut mereka, kaum Asy’ariyyah ini tidak layak disebut Ahlussunnah Wal Jama’ah. Tuduhan ini banyak disebarkan dalam berbagai tulisan orang-orang Wahabi.

Tuduhan ini sangat mengelitik, dan patut kita kritisi. Ada banyak kemugkinan latar belakang timbulnya kesimpulan pembagian faham al-Asy’ari kepada tiga bagian di atas, sebagai berikut;

(Pertama); Tujuan utama faham pembagian fase tersebut adalah untuk menetapkan tuduhan bahwa kaum Asy’ariyyah adalah orang-orang sesat, bukan Ahlussunnah, para pengikut faham Mu’tazilah; atau dalam istilah mereka Afrakh al-Mu’tazilah (cicit-cicit Mu’tazilah), dan berbagai tuduhan lainnya.

(Dua); Mereka hendak menetapkan bahwa al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari sepaham dengan mereka. Yaitu, –menurut mereka– berfaham Salaf [ala Wahabi]; sangat anti takwil dalam memahami teks-teks mutasyabihat. Sementara kaum Asy’ariyyah menurut mereka tidak sepaham dengan Imam mereka sendiri. Kesimpulannya; al-Imâm Abul Hasan lurus, di atas kebenaran. Sementara kaum Asy’ariyyah; sesat, bukan Ahlussunnah dan bukan di atas ajaran Salaf, bahkan mereka adalah orang-orang kafir. Alasannya; karena kaum Asy’ariyyah telah memberlakukan takwil terhadap teks-teks mutasyabihat.

(Tiga); Mereka hendak menyebarkan faham tasybih dan faham anti takwil, yang mereka bungkus dengan nama ajaran Salaf. Untuk itu mereka berani mereduksi (merubah) isi karya-karya al-Asy’ari, seperti yang akan anda lihat dalam catatan di bawah ini. Salah satunya, karya al-Asy’ari berjudul al-Ibanah Fi Ushul ad-Diyanah yang dirombak menjadi berfaham tasybih dan tajsim.

(Empat); Pembagian tiga fase faham al-Imâm al-Asy’ari di atas memberikan kesimpulan bahwa Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab bukan seorang yang berfaham Ahlussunnah Wal Jama’ah. Artinya, menurut mereka beliau adalah seorang yang sesat. Ini mengaburkan pemahaman umat Islam, utamanya mereka yang tidak kenal siapa sesungguhnya Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab.

(Lima); Membuat opini di kalangan umat Islam dan menggiring mereka, utamanya orang-orang awam, agar mengikuti faham mereka; bahwa kaum Asy’ariyyah –menurut mereka– adalah orang-orang sesat yang wajib dihindari. Inilah tujuan utama mereka, yaitu untuk “berjualan”, membuat propaganda untuk menyebarkan faham mereka.

Tuduhan menyesatkan (syubhat) kaum Musyabbihah Mujassimah di atas kita bantah dengan beberapa catatan berikut;

(Satu); al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari adalah tokoh Ahlussunnah Wal Jama’ah. Nama, akidah (keyakinan), dan rumusan ajaran Ahlussunnah yang beliau bukukan telah ditulis dengan tinta emas oleh murid-murid beliau, oleh para ahli sejarah (al-Mu’arrikhun), dan oleh para ulama di setiap generasi sesudahnya.

(Dua); Bahwa al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari semula seorang berfaham Mu’tazilah, bahkan menjadi tokoh panutan dan rujukan di kalangan orang-orang Mu’tazilah; ini benar adanya. Tidak ada seorang-pun dari murid-murid Abul Hasan (Ash-hab al-Asy’ari) yang telah mencatatkan bahwa beliau wafat dan telah bertaubat dari faham fase ke dua (faham Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab; seperti prasangka kaum Musyabbihah Mujassimah). Tidak ada seorangpun dari murid-murid al-Asy’ari yang mengatakan bahwa guru mereka telah bertaubah dari faham metode takwil. Tidak ada seorang-pun dari mereka mengatakan bahwa al-Asy’ari berkeyakinan Allah memiliki bentuk dan ukuran, memiliki tempat dan arah, bertempat di langit; juga bertempat di arsy, serta memiliki anggota-anggota badan seperti yang mereka tuduhkan. Silahkan anda cek catatan / karya-karya Ash-hab al-Asy’ari.

(Tiga); al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari tidak pernah mengikrarkan diri bertaubat bahwa ia keluar dari faham Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab –seperti yang disangka / dikhayalkan kaum Musyabbihah Mujassimah– sebagaimana beliau berikrar taubat dari faham Mu’tazilah. Sejarah tidak pernah mencatat prasangka kaum Musyabbihah Mujassimah itu. Al-Asy’ari tidak bernah berkata; “Saya berada dalam faham fase ke dua (model faham Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab), dan faham ini adalah sesat, karena itu saya pindah ke fase ke tiga (faham Salaf, seperti prasangka kaum Musyabbihah)”. Sejarah tidak pernah mencatat ini, bahkan sebatas isyarat-pun tidak ada.

(Empat); Tidak ada seorang-pun murid dari murid-murid al-Asy’ari yang mencatatkan bahwa al-Asy’ari wafat dalam keadaan telah taubat dari faham metode takwil. Tidak ada seorang-pun dari mereka mengatakan bahwa al-Asy’ari berkeyakinan Allah memiliki bentuk dan ukuran, memiliki tempat dan arah, bertempat di langit; juga bertempat di arsy, serta memiliki anggota-anggota badan seperti yang mereka tuduhkan. Silahkan anda cek catatan / karya-karya para ulama dari murid-murid al-Imâm al-Asy’ari. Perhatikan pernyataan al-Imâm Ibn Furak ini:

انتقل الشيخ أبو الحسن علي بن إسماعيل رضي الله عنه من مذاهب المعتزلة إلى نصرة مذاهب أهل السنة والجماعة بالحجج العقلية وصنف في ذلك الكتب. اهـ

“Syekh Abul Hasan Ali ibn Isma’il al-Asy’ari pindah dari ajaran-ajaran Mu’tazilah kepada membela ajaran-ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah dengan argumen-argumen akal, yang dalam hal itu beliau menyusun kitab-kitab”[1].

Al-Imâm Ibn Furak tidak mengatakan; al-Asy’ari pindah kepada fase faham ke dua.

(Lima); Tidak ada seorang-pun dari para ahli sejarah (al-Mu’-arrikhun) yang menuliskan bahwa al-Asy’ari wafat dalam telah kembali kepada ajaran Salaf [versi wahabi / Musyabbihah / Mujassimah, atau dari keadaan telah taubat dari faham metode takwil. Yang benar adalah bahwa keluarnya al-Imâm al-Asy’ari dari faham Mu’tazilah adalah untuk membela ajaran Salaf saleh. Dan beliau tidak tetap meyakini ajaran Salaf tersebut sampai akhir hayatnya. Perhatikan catatan Ibnu Khalikan dalam Wafayat al-A’yan berikut ini:

هو صاحب الأصول والقائم بنصرة مذهب السنة، وكان أبو الحسن أولا معتزليا ثم تاب من القول بالعدل وخلق القرءان في المسجد الجامع بالبصرة يوم الجمعة. اهـ

“Beliau (al-Asy’ari) adalah seorang ahli Ushul (teolog), dan seorang yang berdiri membela madzhab Ahlussunnah. Awalnya, Abul Hasan adalah seorang berfaham Mu’tazilah, kemudian bertaubat dari faham / teori “keadilan” (yang menetapkan adanya kewajiban bagi Allah) dan dari faham al-Qur’an makhluk di masjid jami’ di Basrah pada hari jum’at”.[2]

(Enam); Sejarah mencatat bahwa setelah al-Imâm al-Asy’ari keluar dari faham Mu’tazilah beliau sejalan dengan pendapat Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab, al-Qalanisi, dan al-Muhasibi. Dan sesungguhnya mereka semua adalah para ulama yang berada di atas ajaran Salaf saleh. Perhatikan tulisan Ibnu Khaldun berikut ini:

إلى أن ظهر الشيخ أبو الحسن الأشعري وناظر بعض مشيختهم -أي المعتزلة- في مسائل الصلاح والأصلح فرفض طريقتهم، وكان على رأي عبد الله بن سعيد بن كلاب والقلانسي والحارث المحاسبي من أتباع السلف وعلى طريقة السنة. اهـ

“Hingga tampilah Syekh Abul Hasan al-Asy’ari, ia membantah pemuka-pemuka Mu’tazilah dalam masalah ash-Shalah wa al-Ash-lah maka ia menolak faham mereka. Dan adalah beliau di atas pendapat Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab, al-Qalanisi, dan al-Harits al-Muhasibi; dari para pengikut Salaf dan di atas ajaran Ahlussunnah”[3].

(Tujuh); Semua ahli sejaran (al-Mu’arrikhun) mencatat bahwa al-Asy’ari pindah dari faham Mu’tazilah kepada faham Ahlussunnah ajaran Salaf saleh. Demikian dicatat oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, Tajuddin as-Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah al-Kubra, Ibnul ‘Imad dalam Syadzarat adz-Dzahab Fi Akhbar Man Dzahab, Ibnul Atsir dalam al-Kamil Fi at-Tarikh, Ibnu ‘Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî, al-Qadli ‘Iyadl dalam Tartib al-Madarik, Ibnu Qadli Syubhah dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, al-Isnawi dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, Ibnu Farhun dalam ad-Dibaj al-Mudzahhab, al-Yafi’i dalam Mir’at al-Janan, dan lainnya. Sangat tidak masuk akal, jika benar ada fase ke tiga dari faham al-Asy’ari lalu luput dari catatan para ahli sejarah di atas!

Bahkan, al-Qadli Abu Bakr al-Baqilani yang notebene pembela ajaran-ajaran al-Asy’ari, dalam karya-karyanya seperti al-Inshaf dan at-Tamhid tidak ada “secuil”-pun menyebutkan bahwa ada fase ke tiga dari faham aqidah al-Asy’ari. Lihat pula karya-karya Ibnu Furak, al-Qaffal asy-Syasyi, Abu Ishaq asy-Syirazi, al-Bayhaqi; juga tidak ada sedikitpun menyinggung adanya fase ke tiga dari perjalan keyakinan al-Asy’ari.

(Delapan); Siapa sesungguhnya Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab? Jawabnya adalah beliau seorang Imam terkemuka di kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah yang sangat kuat membantah dan melumpuhkan faham-faham Mu’tazilah dan Musyabbihah Mujassimah. Karena itu beliau sangat dibenci oleh kaum Mu’tazilah dan Musyabbihah sekaligus. Terutama kaum Musyabbihah yang sangat anti terhadap takwil, oleh karena Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab ini mempergunakan metode takwil dalam memahami teks-teks mutasyabihat.

Al-Imâm Tajuddin as-Subki dalam Thabaqat asy-Syafiyyah tentang Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab menuliskan:

وابن كلاّب على كل حال من أهل السنة، ورأيت الإمام ضياء الدين الخطيب والد الإمام فخر الدين الرازي قد ذكر عبد الله بن سعيد في آخر كتابه غاية المرام في علم الكلام فقال: ومن متكلمي أهل السنة في أيام المأمون عبدالله بن سعيد التميمي الذي دمّر المعتزلة في مجلس المأمون وفضحهم ببيانه. اهـ

“Kesimpulannya, Ibnu Kullab adalah dari kaum Ahlussunnah. Dan aku telah melihat al-Imâm Dliya’uddin al-Khathib; ayahanda al-Imâm al-Fakhruddin ar-Razi telah menyebutkan prihal Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab di akhir kitabnya “Ghayah al-Maram Fi ‘Ilm al-Kalam”, berkata: Di antara teolog Ahlussunnah di masa al-Ma’mun adalah Abdullah ibn Sa’id at-Tamimi yang telah menghancurkan kaum Mu’tazilah di majelis al-Ma’mun, dan telah menelanjangi mereka dengan penjelasannya”.[4]

Al-Imâm Al-Hafizh Ibn Asakir dalam kutipannya dari al-Imâm Abu Zaid al-Qayrawani, bahwa beliau berkata:

ما علمنا من نسب إلى ابن كلاّب البدعة، والذي بلغنا أنه يتقلّد السنة ويتولّى الردَّ على الجهمية وغيرهم من أهل البدع. اهـ

“Kami tidak mengetahui adanya orang yang menyandarkan Ibnu Kullab kepada perkara bid’ah. Berita yang sampai kepada kami beliau adalah pengikut ajaran Ahlussunnah, dan orang terdepan yang membantah faham Jahmiyyah dan lainnya dari kelompok ahli bid’ah”.[5]

Ibnu Qadli Syubhah dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah tentang biografi Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab di antara tulisannya adalah sebagai berikut:

من كبار الْمُتَكَلِّمين وَمن أهل السّنة وبطريقته وَطَرِيقَة الْحَارِث المحاسبي اقْتدى أَبُو الْحسن الْأَشْعَرِيّ. اهـ

“Beliau adalah di antara teolog terkemuka, dan dari kaum Ahlussunnah, dan Abul Hasan mengikuti metodenya, juga mengikuti metode al-Harits al-Muhasibi [dalam membela ajaran Ahlussunnah]”.[6]

Catatan dan penilaian yang sama juga telah dituliskan oleh Ibnu Khaldun dalam kitab al-Muaqaddimah tentang al-Imâm Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab, sebagaimana telah kita kutip di atas.

Al-Muhddits Zahid al-Kawtsari dalam ta’liq-nya terhadap kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî menuliskan:

كان إمام متكلمة السنة في عهد أحمد، وممن يرافق الحارث بن أسد، ويشنع عليه بعض الضعفاء في أصول الدين. اهـ

“Beliau (Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab) adalah Imam para ulama yang membela Sunnah (ajaran Rasulullah / Ahlussunnah) di masa Ahmad. Beliau di antara yang bersahabat dengan al-Harits ibn Asad al-Muhasibi). Orang-orang yang lemah dalam aqidah telah mencelanya”.[7]

Syekh Jamaluddin al-Isnawi dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah menuliskan tentang sosok Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab:

كان من كبار المتكلمين ومن أهل السنة، ذكره العبادي في طبقة أبي بكر الصيرفي، قال؛ إنه من أصحابنا المتكلمين. اهـ

“Beliau adalah di antara teolog terkemuka, dari kalangan Ahlussunnah, al-Ibadi telah menyebutkannya di thabaqah Abu Bakr ash-Shayrafi, berkata: Beliau adalah di antara sahabat kita dari kalangan Mutakallimin (teolog)”[8].

Al-‘Allamah Kamaluddin al-Bayyadli dalam Isyarat al-Maram menuliskan:

لأن الماتريدي مفصل لمذهب الإمام (يعني أبا حنيفة) وأصحابه المظهرين قبل الأشعري لمذهب أهل السنة، فلم يخل زمان من القائمين بنصرة الدين وإظهاره، وقد سبقه (يعني الأشعري) أيضا في ذلك (أي في نصرة مذهب أهل السنة والجماعة) الإمام عبد الله بن سعيد القطان. اهـ

“… karena al-Maturidi telah merinci (menjelaskan) bagi madzhab al-Imâm Abu Hanifah dan para sahabatnya yang telah memunculkan madzhab Ahlussunnah sebelum al-Asy’ari. Maka tidak pernah sunyi masa dari orang-orang yang berdiri membela agama dan menyiarkannya. Dan juga terdahulu pula sebelum al-Asy’ari dalam membela madzhab Ahlussunnah oleh al-Imâm Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab al-Qaththan”.[9]

Teolog Ahlussunnah terkemuka (al-Mutakallim) Abul Fath Asy-Syahrastani dalam kitab al-Milal Wa an-Nihal berkata:

حتى انتهى الزمان إلى عبد الله بن سعيد الكلابي وأبي العباس القلانسي والحارث بن أسد المحاسبي وهؤلاء كانوا من جملة السلف إلا أنهم باشروا علم الكلام وأيدوا عقائد السلف بحجج كلامية وبراهين أصولية. اهـ

“Hingga sampailah zaman ke masa Abdullah ibn Sa’id al-Kullabi, Abul Abbas al-Qalanisi, dan al-Harits ibn Asad al-Muhasibi, dan mereka semua adalah dari golongan Salaf, hanya saja mereka menggeluti Ilmu Kalam dan membela aqidah Salaf dengan dalil-dalil teologis, dan argumen-argumen ushul”.[10]

Bahkan tidak hanya al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari yang sejalan dengan metode al-Imâm Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab dalam meneguhkan argumen-argumen aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah. jauh sebelumnya, metode Ibn Kullab juga telah dipraktekan oleh al-Imâm al-Bukhari. Simak catatan al-Hafizh Ibn Hajar berikut ini:

البخاري في جميع ما يورده من تفسير الغريب إنما ينقله عن أهل ذلك الفن كأبي عبيدة والنضر بن شميل والفراء وغيرهم، وأما المباحث الفقهية فغالبها مستمدة له من الشافعي وأبي عبيد وأمثالهما، وأما المسائل الكلامية فأكثرها من الكرابيسي وابن كلاب ونحوهما. اهـ

“al-Bukhari dalam seluruh apa yang ia datangkan dari tafsir gharib (asing) adalah ia mengutipnya dari para ahli pada bidang itu seperti Abu Ubaid, an-Nadlr ibn Syamil, al-Farra’ dan lainnya. Sementara dalam pembahasan-pembahasan fiqh maka umumnya beliau (al-Bukhari) mengambil rederensi dari asy-Syafi’i, Abu Ubaid, dan semacam keduanya. Adapun dalam masalah-masalah Kalam (teologi) maka kebanyakannya mengambil dari al-Karabisi, Ibn Kullab, dan semacam keduanya”.[11]

__________________
[1] Ibnu ‘Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 127
[2] Ibn Khalikan, Wafayat al-A’yan, j. 3, h. 284
[3] Ibn Khaldun, al-Muqaddimah, h. 853
[4] Tajuddin as-Subki, Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 2, h 300
[5] Ibnu ‘Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 406
[6] Ibnu Qadli Syubhah, Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 1, h. 78
[7] Ibnu ‘Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 405
[8] Al-Isnawi, Thabawat asy-Syafi’iyyah, j. 2, h. 178
[9] Al-Bayyadli, Isyârât al-Marâm Min ‘Ibârât al-Imâm, h. 23
[10] Asy-Syahrastani, al-Milal Wa an-Nihal, h. 81
[11] Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari’, j. 1, h. 293

Minggu, 26 November 2023

Dalil Haramnya Buang Hajat Menghadap Kiblat atau Membelakanginya

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ (37)*

Dalil Haramnya Buang Hajat Menghadap Kiblat atau Membelakanginya Tanpa _Satir_ di Tempat Selain yang Dijadikan untuk Buang Hajat


عن أبي أيوب رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: إِذَا أَتَيتُمُ الغَائِطَ فَلا تَستَقبِلُوا القِبلَةَ بِغَائِطٍ وَلا تَستَدبِرُوها وَلكِن شَرِّقُوا أَو غَرِّبُوا. رواه الشيخان

Dari Abu Ayub -semoga Allah meridlainya- beliau berkata: "Rasulullah _shallallahu 'alayhi wasallam_ bersabda : "Jika kalian datang ke tempat buang hajat maka jangan menghadap kiblat (ketika kencing atau buang air besar) juga jangan membelakangi kiblat, akan tetapi menghadaplah ke timur atau barat." (H.R. Al Bukhari dan Muslim)


Diriwayatkan bahwasanya Rasulullah buang hajat di rumah Hafshah dengan menghadap ke arah Syam dan membelakangi Ka'bah.


Diriwayatkan oleh ibnu Hibban bahwasanya Rasulullah buang hajat menghadap Ka'bah.

Maka para ulama mengompromikan hadits-hadits ini dengan mengambil pendapat al Imam asy-Syafi'i bahwasanya:
1. Kabar yang pertama haram menghadap ke kiblat atau membelakanginya ketika di selain bangunan, karena luasnya membuat tidak sulit untuk menghindari menghadap kiblat atau membelakanginya. Adapun di bangunan, disunnahkan untuk menghindari hal tersebut dan boleh melakukannya seperti yang dilakukan oleh Nabi. Nabi melakukannya untuk menjelaskan kebolehannya. Akan tetapi bagi kita (umat Nabi), yang lebih utama adalah menghindarinya (tidak menghadap kiblat atau membelakanginya di bangunan).

2. Yang kedua (buang hajat menghadap kiblat atau membelakanginya) jika pada kondisi tertutupi dengan _satir_ dengan tinggi dua pertiga _dzira'_ dan jarak antara dia dan _satir_ tiga _dzira'_ atau kurang. Maka tempat yang pertama (haram mengahadap kiblat atau membelakanginya) jika tidak ada _satir_. Semua perincian ini berlaku jika tidak pada tempat yang memang dibuat untuk buang hajat. Adapun di tempat yang memang dibuat untuk buang hajat maka tidak haram, tidak makruh juga tidak _khilaful aula_ (buang hajat dengan menghadap kiblat atau membelakanginya).


_Khithab_ dalam hadits tersebut adalah untuk penduduk Madinah dan yang semakna dengan mereka seperti penduduk Syam, Yaman dan lainnya yang kiblatnya searah dengan mereka. Adapun orang yang kiblatnya di arah timur dan barat maka buang hajat ke arah kiri atau kanan (utara atau selatan).


Dalam madzhab kita, jika seseorang sudah menghindari menghadap kiblat dan membelakanginya ketika buang hajat, kemudian ditengah-tengah istinja' menghadap ke kiblat atau membelakanginya maka itu hukumnya boleh tanpa ada kemakruhan, seperti yang dituturkan oleh al Imam ar-Ruyyani, bahwa itu adalah benar. Juga tidak makruh ketika buang angin atau jima' menghadap kiblat atau membelakanginya.

Sabtu, 25 November 2023

larangan istinja dengan tangan kanan

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ (36)*

Dalil Kemakruhan Memegang Dzakar dan Beristinja' dengan Tangan Kanan


عن أبي قتادة رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: لايُمسِكَنَّ أحدُكُم ذَكَرَه بِيَمِينِه وَهُو يَبُول وَلا يَتَمَسَّحْ مِنَ الخَلَاء بِيَمينِه ولا يَتَنَفَّس فِي الإِنَاء. رواه الشيخان

Dari Abu Qatadah -semoga Allah meridlainya- beliau berkata: "Rasulullah _shallallahu 'alayhi wasallam_ bersabda: "Janganlah salah seorang dari kalian memegang dzakarnya (kemaluannya) dengan tangan kanan ketika dia kencing, janganlah beristinja' dari buang hajat dengan tangan kanannya dan janganlah mengeluarkan nafasnya dari mulut di dalam wadah." (H.R. Al Bukhari dan Muslim)


Larangan memegang dzakar tersebut dibatasi pada kondisi kencing sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama. Akan tetapi pendapat yang _mu'tamad_ (dapat dijadikan pedoman) tidak seperti itu, berdasarkan dalil riwayat lain yang tidak menyebutkan kondisi kencing. Maka *tidak dikatakan* jika hal tersebut tidak terbatas pada kondisi kencing saja maka ini menunjukkan bahwa hadits di atas dipahami secara umum saja (tidak diambil makna yang khusus dari hadits umum). (Tidak dikatakan demikian) karena kita mengatakan tidak apa-apa memaknai hadits ini secara umum (baik kondisi kencing atau tidak). Sebab, dikatakan tidak memaknai sebuah hadits umum dengan makna khusus jika _qaid_ (batasan) tidak keluar dari kebiasaan, dan makna yang umum tidak lebih unggul dalam hukum daripada makna yang khusus. Akan tetapi, pada permasalahan ini berbeda karena pada umumnya, orang memegang dzakar terjadi ketika dia kencing. Begitu juga, jika dilarang memegang dengan tangan kanan ketika istinja' padahal itu (kondisi yang diduga) dibutuhkan maka larangan menyentuh dengan tangan kanan pada selain kondisi istinja' lebih utama.


Hadits ini juga menunjukkan larangan beristinja' dengan tangan kanan. Sebaliknya, beristinja' itu dengan tangan kiri karena tangan kanan dipakai untuk sesuatu yang dimuliakan, sedangkan tangan kiri dipakai untuk sesuatu yang rendah dan kurang. Begitu juga, kalau memegang najis dengan tangan kanan maka bisa jadi nanti ia akan mengingatnya ketika makan bahwa tangan kanannya telah digunakan untuk menyentuh najis ketika istinja' sehingga dirinya akan merasa jijik.


Hadits ini juga menunjukkan larangan seseorang bernafas menggunakan mulut di dalam wadah agar tidak mengotori air dengan hal tersebut dan agar menjadi aman dari sesuatu yang keluar dari mulut yang membuatnya merasa jijik.


Maka hadits ini juga menunjukkan kemakruhan tiga hal tersebut. Mayoritas ulama mengatakan hal itu makruh. Mereka memahami kalimat yang menggunakan _ibaroh_ لا يجوز dengan makna makruh.


Istinja' disunnahkan untuk dilakukan sebelum wudlu agar keluar dari perbedaan pendapat dan aman dari batalnya wudlu setelah suci. Disunnahkan pula untuk memulai istinja' dengan air di _qubul_-nya.


Menggunakan air di dalam istinja' wajib dengan takaran sekira dapat (cukup) menghilangkan najis. Kalau sudah melakukan itu kemudian ia masih mencium bau najis dari tangannya maka itu menunjukkan bahwa masih ada najis di tempat keluarnya najis (farji) sehingga ia wajib menghilangkannya lagi. Dengan pendapat ini, disunnahkan untuk mencium tangan. Akan tetapi, menurut pendapat yang lebih sahih, bau najis di tangan tidak menunjukkan masih adanya sisa najis di tempatnya (farji) melainkan menunjukkan najis itu masih ada di tangan (bukan di tempat najis). Maka, dengan pendapat ini, tidak disunnahkan mencium tangan.

Kamis, 23 November 2023

Makruhnya Berbincang-bincang ketika Buang Hajat

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ (35)*

Dalil Makruhnya Berbincang-bincang ketika Buang Hajat


عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: لا يَخرُجِ الرَّجُلَان يَضرِبَان الغَائِط عَن عَورَتِهمَا يَتَحدَّثان فَإِنَّ الله يَمقُتُ عَلى ذَلك. رواه أبو داود

Dari Abu Said al Khudri -semoga Allah meridlainya- beliau berkata: "Bahwasanya Rasulullah _shallallahu 'alayhi wasallam_ bersabda: "Janganlah dua orang datang (ke kamar kecil) dalam kondisi membuka auratnya kemudian berbincang-bincang, karena sesungguhnya Allah murka terhadap hal tersebut." (H.R. Abu Dawud)


Dalam hadits ini, terdapat dalil kemakruhan berbincang-bincang ketika sedang buang hajat.

Kalau dikatakan: "Tidak ada dalil dalam hadits tersebut, yang menunjukkan kemakruhan berbincang-bincang saat buang hajat sebab yang dicela dalam hadits bukan hanya berbincang-bincang saja (karena hadits tersebut melarang berbincang-bincang dalam kondisi membuka aurat)."

Maka jawabannya (sebagaimana yang telah dijelaskan oleh asy-Syaikh Zakariya al Anshari) adalah bahwa sebagian hal yang dimurkai oleh Allah menjadi berhukum makruh tanpa ada keraguan tentang hal itu. Diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan oleh al Imam al Hakim bahwasanya Rasulullah bersabda tentang dua orang yang sedang buang hajat:

إن يتحدثا فإن الله يمقت على ذلك

"Kalau mereka berdua berbincang-bincang maka Allah murka atas hal itu."


*Faidah Penting:*
Al Imam Abu Ja'far Ath-Thahawi mengatakan:

والله يغضب ويرضى لا كأحد من الورى

"Allah murka dan ridla tapi tidak sama dengan murka dan ridlanya makhluk."

Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya baik dzat-Nya maupun sifat-Nya. Ketika dikatakan Allah murka atau ridla berarti bukan seperti murka atau ridlanya makhluk. Sifat _Ghadlab_ dan _Ridla_-nya Allah adalah _azali_ (ada tanpa permulaan) dan abadi (ada tanpa akhiran). Sedangkan sifat murka dan ridla makhluk itu baharu, memiliki permulaan dan akhiran.

Selasa, 21 November 2023

Apa yang dipakai untuk beristinja

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ (34)*

Dalil Bahwa Istinja' dengan Air Lebih Utama dari Sekedar Memakai Batu


عَن أَنَسٍ رضي الله عنه كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَدخُلُ الخَلَاء فَأَحمِل أَنا وغُلامٌ نَحوِي إِدَاوَةً مِن مَاءٍ وعنزةً فَيَستَنجِى بِالمَاء. رواه الشيخان

Dari sahabat Anas -semoga Allah meridlainya- berkata: "Ketika Nabi ingin masuk ke kamar kecil, saya dan seorang pemuda yang umurnya dekat denganku membawa wadah (yang berisi) air dan (membawa) tongkat. Kemudian Rasulullah beristinja' dari air tersebut". (H.R. Al Bukhari dan Muslim)


Rasulullah membutuhkan tongkat karena setelah beliau berwudlu, kemudian beliau melakukan shalat dua raka'at. Jadi Nabi membutuhkan tongkat untuk ditancapkan (sebagai _sutrah_/penghalang yang ditaruh di depannya saat shalat) jika beliau tidak berada pada bangunan. Selain itu, dimungkinkan juga beliau memerlukan tongkat tersebut untuk melindungi diri dari orang-orang munafik dan yahudi karena mereka ingin membunuh Rasulullah.


Dari hadits ini juga dapat diambil dalil tentang beberapa hal berikut: 
- menggali tanah yang keras jika ingin buang hajat agar najis dari buang hajatnya tidak mengenainya,
- berkhidmah terhadap orang-orang shalih, dan mencari berkah dengan hal itu, 
- seorang yang shalih/dimuliakan meminta tolong kepada sebagian murid-muridnya dalam memenuhi keperluannya,
- disunnahkan istinja' dengan air dan itu lebih unggul dari sekedar memakai batu.


Beristinja' menggunakan air lebih utama dari batu. Sementara menggunakan kedua-duanya (air dan batu) lebih utama dari sekadar memakai salah satu dari keduanya.


Syarat benda (selain air) dapat digunakan untuk beristinja' adalah sebagai berikut:
- Benda yang padat. Maka tidak cukup memakai sesuatu yang cair (selain air).
- Suci. Maka tidak cukup beristinja' dengan najis seperti kotoran hewan yang telah mengering.
- Dapat mencabut/mencongkel najis. Maka tidak cukup dengan memakai batang bambu yang licin.
- Bukan sesuatu yang dimuliakan. Maka tidak cukup memakai makanan manusia bahkan bisa jatuh kepada maksiat jika beristinja' dengan sesuatu yang dimuliakan. Jika Rasulullah telah melarang untuk beristinja' dengan tulang karena tulang adalah makanan jin, maka makanan manusia lebih tidak diperbolehkan.

Senin, 20 November 2023

Doa Sebelum Masuk Kamar Kecil

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ (33)*


Dalil Disunnahkannya Membaca Doa اللّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الخُبُث والخَبَائِث Sebelum Masuk Kamar Kecil


عن أنس رضي الله عنه قال: كَان النبي صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَل الخَلَاء قال: اللّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الخُبُث والخَبَائِث. رواه الشيخان

Dari sahabat Anas beliau berkata: "Bahwasanya Rasulullah jika akan masuk ke dalam kamar kecil beliau mengatakan (maknanya): "Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan dengan-Mu dari gangguan setan laki-laki dan perempuan." (H.R. Al Bukhari dan Muslim)

WC/kamar kecil dinamakan dengan خلاء (Khala') karena dia akan kosong pada waktu selain buang hajat dan karena setan yang ditugaskan di _khala'_ bernama Khala.


_Al khubuts_ ( الخبث ) artinya setan laki-laki. Dia adalah bentuk jama' dari _khabits_ (خبيث). Sedangkan _al khabaits_ (الخبائث) artinya setan perempuan. Dia adalah bentuk jama' dari _khobitsah_ (خبيثة). Ada yang mengatakan _al khubts_ artinya para setan sedangkan _al khabaits_ artinya maksiat-maksiat. Dikatakan juga bahwa _al khubts_ artinya para setan sedangkan _al khabaits_ artinya kencing dan tinja.

Adapun Nabi memohon perlindungan dari hal tersebut adalah untuk menampakkan _ubudiyyah_ serta mengajarkan kepada umatnya karena pada hakekatnya beliau adalah orang yang _ma'shum_ (terjaga) dari hal tersebut. 


Hadits ini adalah dalil disunahkannya doa tersebut. Hal ini dikarenakan kata كان pada hadits ini menunjukkan hal yang dilakukan terus-menerus bahkan (di luar hal itu) perkara ini adalah memang disunnahkan secara ijma' baik (buang hajat) di bangunan ataupun di padang pasir karena tempat buang hajat menjadi rumah bagi para setan. Disunnahkan juga mengucapkan basmalah sebelum do'a tersebut. Terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Anas:

بسم الله، اللهم إني أعوذ بك من الخبث والخبائث


Berbeda halnya dengan ucapan _ta'awudz_ di dalam shalat dan selainnya karena _ta'awudz_ dalam hal tersebut didahulukan karena untuk membaca (al Qur'an) dan _basmalah_ merupakan ayat dalam al Qur'an, berbeda dengan _basmalah_ pada do'a ini (karena _basmalah_ tidak diucapkan untuk membaca al Qur'an).


Faidah: Asy-Syaikh Abdullah Al-Harari banyak memperingatkan agar seseorang tidak berlama-lama di dalam kamar kecil karena tempat tersebut banyak disukai oleh setan dan banyak terjadi waswas disebabkan terlalu sering berlama-lama di kamar kecil. Para ulama menjelaskan, di antara hal-hal yang dapat melindungi seseorang dari gangguan jin di dalam kamar kecil adalah dengan memakai sesuatu yang menutupi kepalanya.

Minggu, 19 November 2023

Dalil Bahwa Apa yang Keluar dari _Qubul_ dan Dubur Membatalkan Wudlu

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ (32)*

Dalil Bahwa Apa yang Keluar dari _Qubul_ dan Dubur Membatalkan Wudlu


عن عبد الله بن زيد رضي الله عنه شُكِيَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم الرَّجُل خُيِّل إِلَيه أَنَّه يَجِد الشَّيءَ فِي الصَّلَاة فقال: لا يَنصَرِف حَتَّى يَسمَعَ صَوتا أو يَجِدَ رِيحًا رواه الشيخان

Dari Abdullah ibn Zaid -semoga Allah meridlainya-, diadukan kepada Nabi tentang seorang laki-laki yang di dalam sholatnya ia menyangka bahwasa ia mendapati (mengalami) sesuatu dalam shalat. Maka Nabi bersabda: "Janganlah ia beranjak dari shalat (memutuskan bahwa shalatnya batal) sampai ia mendengar suara atau mencium bau". (H.R. Al Bukhari dan Muslim)


Maksud dari "sampai ia mendengar suara atau mencium bau" adalah sampai ia yakin akan hal tersebut (keluarnya kentut) karena bisa saja dia adalah orang yang tuli atau tidak bisa mencium bau. Adapun disebutkannya hal tersebut dalam hadits adalah karena memang menyesuaikan kebiasaan. 


Adapun lafazh hadits yang diriwayatkan oleh Bazzar adalah

يأتى أحدَكم الشيطان في صلاته فينفخ في مقعدته فيخيل إليه أنه أحدث ولم يحدث وإذا وجد ذلك فلا ينصرف حتى يسمع صوتا أو يجد ريحا

"Setan mendatangi salah seorang dari kalian dalam shalatnya lalu meniup di pantatnya (bagian belakang dari orang tersebut) sehingga (dengannya) ia mengira bahwa ia sudah berhadats padahal tidak berhadats. Maka kalau salah seorang dari kalian mendapati hal tersebut janganlah ia memutuskan bahwa shalatnya batal sampai mendengar suara atau mencium bau."


Hadits ini dalil bahwa sesuatu yang keluar dari _qubul_ atau dubur membatalkan wudlu kecuali kalau sekedar ragu (akan hal tersebut). Maka dari sini, dapat diambil kaidah yang sangat agung yaitu:

اليقين لا يرفع بالشك

"Sebuah keyakinan itu tidak akan hilang dengan sebuah keraguan."

Maksudnya adalah sekedar ragu yang meliputi perkiraan atau anggapan semu. Jadi, barangsiapa yakin tentang kondisi sucinya kemudian ragu apakah batal atau tidak maka harus menghukumi bahwasanya ia tetap suci baik di dalam shalat ataupun di luar shalat.


Kata shalat dijadikan _muqaddar_ (tidak disebutkan namun diketahui jika kata tersebut yang dimaksud) pada jawaban Rasul dalam hadits tersebut adalah karena kata shalat telah disebutkan di dalam pertanyaan. Maka yang dimaksud bukanlah pengkhususan kondisi pada shalat saja.

Jumat, 17 November 2023

Menyentuh _Qubul_ atau Dubur Mewajibkan Wudlu

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ (31)*

Dalil Bahwa Menyentuh _Qubul_ atau Dubur Mewajibkan Wudlu

عن بُسرَةَ بِنتِ صَفوَان قَالت قال النَّبي صلى الله عليه وسلم: مَن مَسَّ ذَكَرَهُ فَليَتَوَضَّأ. رواه الشافعي وأبو داود والترمذي 

Dari Busrah binti Shafwan ia berkata bahwasanya Rasulullah _shallallahu 'alayhi wasallam_ bersabda: "Barangsiapa menyentuh dzakarnya maka wajib berwudlu (karena telah batal wudlunya)." (H.R. Asy-Syafi'i, Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini _hasan shahih_.

Hadits ini adalah dalil bahwa siapa yang menyentuh dzakarnya wajib berwudlu. Terlebih lagi jika ia menyentuh dubur (anus) dan menyentuh kemaluan orang lain. Semua hal tersebut mewajibkan wudlu walaupun menyentuh farjinya anak kecil atau orang yang sudah meninggal, baik secara sengaja ataupun tidak, dengan syahwat ataupun tidak, baik yang disentuh adalah farji yang sempurna atau cacat, dan masih tersambung dengan badan ataupun sudah terpisah.


Yang dimaksud menyentuh yang membatalkan wudlu di sini adalah menyentuh dengan bagian dalam telapak tangan walaupun dalam kondisi cacat.


Adapun farji yang terpotong maka tempat terpotongnya itu sama dengan farji (mewajibkan wudlu jika disentuh) karena dia adalah asal dari farji.


Yang dimaksud dengan farji di sini adalah farji manusia. Maka menyentuh farji hewan tidak membatalkan wudlu.


Selain telapak tangan bagian dalam dikecualikan (hukumnya) dari telapak tangan bagian dalam tersebut seperti ujung jari dan sela-sela jari. Maka menyentuh farji dengan bagian tersebut tidak mewajibkan wudlu. Pengkhususan hukum ini bagi telapak tangan bagian dalam adalah sebab rasa nikmat terdapat pada bagian tersebut. Hal ini juga berdasarkan kabar ibnu Hibban. Beliau berkata:

إذا أفضى أحدكم بيده إلى فرجه وليس بينهما ستر ولا حجاب فليتوضأ.

"Jika salah seorang dari kalian menyentuh farjinya dengan (telapak) tangan (bagian dalam) tanpa adanya penghalang maka wajib berwudlu."


Adapun kabar dari Thalq bin Ali bahwasanya Rasulullah ditanya tentang menyentuh dzakar saat shalat, beliau bersabda:

هل هو إلا بَصعَة منك

"Dia tidak lain hanya bagian dari tubuhmu (seperti halnya menyentuh bagian tubuh yang lain itu tidak membatalkan wudlu, maka begitu juga dengan menyentuh farji)."

maka hadits ini dihukumi _dha'if_ (lemah) atau telah di- _naskh_ (dihapus hukumnya) oleh hadits dari Busroh di atas atau kemungkinan dipahami dengan menyentuh dengan penghalang (kain atau lainnya) sebagaimana kondisi seseorang yang sedang shalat.

Selasa, 14 November 2023

Cara membersihkan Madzi

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ (30)*

Dalil Bahwa Madzi Najis dan Mewajibkan Wudlu


عن أَمِيرِ المُؤمِنِينَ عَلِيٍّ رضي الله عنه قَالَ: كُنتُ رَجُلًا مَذَّاءً فَأَمَرتُ المِقدَادَ أَن يَسأَلَ النَّبِيَّ فَسَأَلَهُ فَقَالَ: فِيهِ الوُضُوءُ. رواه الشيخان


Dari pemimpin umat Islam (amirul mukminin) sayyiduna Ali -semoga Allah meridlainya-, beliau berkata: "Saya dahulu orang yang banyak mengeluarkan madzi. Kemudian saya menyuruh al Miqdad untuk bertanya kepada Nabi tentang hal itu. Kemudian Rasul menjawab: "Wajib wudlu." (H.R. Al Bukhari dan Muslim)


Perkataan beliau "كنت رجلا مذّاء" ada kemungkinan ini cerita masa lalu dan sudah tidak terjadi lagi ketika beliau mengabarkannya, dan ada kemungkinan seperti firman Allah "كنتم خير أمة" (dan ini yang lebih zhahir), yakni bahwasanya lafazh "كان" di sini adalah untuk menunjukkan terus menerus sehingga arti ayat tersebut adalah bahwa umat Nabi Muhammad tetap menjadi umat terbaik hingga sekarang.


Kata "مذّاء" (madzdza'an) artinya orang yang banyak mengeluarkan madzi. Madzi adalah cairan yang berwarna bening/putih (tidak seperti putihnya mani) atau berwana kuning, menurut pendapat lain, yang keluar ketika awal naiknya syahwat (bukan saat kuatnya syahwat) dan tidak diiringi dengan menurunnya syahwat setelah cairan tersebut keluar.


Dalam riwayat ibnu Hibban, disebutkan bahwa sayyiduna Ali menyuruh Ammar bin Yasir untuk bertanya. Sedangkan dalam riwayat ibnu Khuzaimah, sayyiduna Ali bertanya sendiri kepada Rasulullah. Lalu ibnu Hibban menghimpun dan menyimpulkan semua riwayat ini lalu mengatakan: "Kemungkinan, beliau awalnya menyuruh Ammar kemudian menyuruh al Miqdad dan setelah itu, beliau bertanya sendiri kepada Rasulullah."


Dalam riwayat al Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa sayyiduna Ali malu untuk bertanya langsung kepada Nabi karena ada sayyidah Fathimah yang merupakan putri Nabi dan juga istri sayyiduna Ali. Sehingga beliau menyuruh al Miqdad untuk bertanya kepada Nabi. Kemudian Rasulullah bersabda:

 يغسل ذكره ويتوضأ

"Dia (harus) membasuh dzakarnya kemudian berwudlu."



Hadits ini menjadi dalil beberapa hal berikut:

1. Madzi itu tidak mewajibkan mandi akan tetapi mewajibkan wudlu;
2. Boleh mewakilkan orang lain untuk bertanya;
3. Boleh berpegangan kepada kabar yang kebenarannya masih dalam ranah dugaan meskipun mampu untuk mengambil kabar yang pasti kebenarannya, karena sayyiduna Ali mencukupkan diri untuk menyuruh orang lain bertanya padahal ia mampu untuk bertanya sendiri.


Riwayat terakhir adalah dalil bahwa madzi itu hukumnya najis karena diwajibkannya membasuh dzakar. Kemudian para ulama berbeda pendapat tentang bagian yang wajib dibasuh. Al Imam Asy-Syafi'i dan mayoritas ulama mengatakan wajib membasuh tempat najis saja. Sementara sebagian ulama selain mereka mengatakan wajib membasuh seluruh dzakar karena mengamalkan zhahir hadits tersebut.

Minggu, 12 November 2023

Orang yang Haidl Dilarang Shalat

*_Al I'lam bi Ahaditsi al Ahkam_ 29*

Dalil Bahwa Orang yang Haidl Dilarang Shalat

عَن عَائشَة رضي الله عَنها أَنَّ فَاطِمَةَ بِنتَ أَبِي حُبَيشٍ سَأَلَتِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَت: إِنِّي أُستَحَاضُ أَفَأَدَعُ الصَّلاَةَ ؟ فَقَالَ: لَا، إِنَّ دَمَ الحَيضِ أَسوَدُ يُعرَفُ فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَأَمسِكِي عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى يَنقَطِعَ فَإِذَا كَانَ الآخَرُ فَتَوَضَّئِي وَصَلِّي فَإِنَّمَا هُو عِرقٌ. رواه أبو داود

Dari 'Aisyah -semoga Allah meridloinya- bahwasanya Fathimah binti Abi Hubaisy bertanya kepada Nabi, dia berkata: "Sesungguhnya saya sedang istihadlah. Apakah saya boleh meninggalkan shalat?" Rasul menjawab: "Tidak boleh, karena sesungguhnya darah haidl warnanya hitam seperti yang telah diketahui. Kalau seperti itu (berwarna hitam) maka jangan shalat sampai berhenti darahnya. Kalau selain itu (yaitu darah istihadlah) maka berwudlulah dan shalatlah karena dia adalah darah penyakit."


Dalam hadits ini, terdapat dalil akan adanya haidl dan wajib untuk meninggalkan shalat ketika haidl serta dalil wajibnya wudlu setelah berhenti keluarnya sesuatu dari kemaluan (farj).


Hadits ini adalah dalil (1) bahwa siapa yang mengalami sesuatu hendaklah bertanya tentang hal tersebut, (2) bahwa perempuan boleh berbicara dengan laki-laki untuk bertanya tentang apa yang terjadi padanya, dan (3) dalil bolehnya mendengarkan suara perempuan baik dalam kondisi perlu atau tidak.


Bukan aib bagi seorang perempuan bertanya kepada laki-laki. Sayyidah 'Aisyah -semoga Allah meridlainya- pernah berkata (yang maknanya): "Semoga Allah merahmati para perempuan dari kalangan Anshar, karena rasa malu mereka tidak menghalangi mereka untuk belajar ilmu agama."


Haram bagi orang yang haidl untuk melaksanakan shalat. Hal itu didasarkan juga pada hadits yang diriwayatkan oleh al Imam al Bukhari dan al Imam Muslim:

أليس إذا حاضت المرأة لم تصل ولم تصم

"(Ketika Rasul menjelaskan bahwa perempuan itu kurang agamanya, beliau memberikan alasan) bukankah perempuan ketika haidl, tidak shalat dan tidak puasa?!"


Adapun orang yang mengalami istihadlah maka kondisinya seperti orang yang _salis_ (terus menerus mengeluarkan kencing). Tidak diharamkan baginya apa yang diharamkan kepada orang yang haidl. Maka orang yang istihadlah wajib membasuh farjinya kemudian menutupinya (menyumpalnya/menyumbatnya) dengan semisal kapas kemudian dibalut dengan kencang (setelah disumbat) dengan kain yang ditali seperti celana. Hal ini (menyumbat dan mengikatnya dengan kain) wajib jika memenuhi persyaratannya, yaitu (1) dia memerlukan hal tersebut, (2) tidak tersakiti dengan hal itu dan (3) dia bukan orang yang berpuasa. Sedangkan untuk orang yang berpuasa, wajib meninggalkan hal tersebut (menyumbat) ketika siang hari. Kalau seandainya darah tetap keluar setelah disumbat dan diikat maka tidak apa-apa.

Sabtu, 11 November 2023

Bagian Khuf yang disapu

*_al-I'lam bi Ahaditsi al-Ahkam_ 28*

Dalil yang wajib di usap pada khuf adalah bagian atas.

عن أمير المؤمنين علي رضي الله عنه قال لو كان الدِينُ باِلرَأيِ لَكَانَ أَسفَلُ الخُفِّ أَولَى بِالمَسحِ مِن أَعلاهُ وَقَد رَأَيتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَمسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيهِ رواه أبو داود والبيهقي 

Dari pemimpin umat islam sayyiduna Ali bahwasanya beliau berkata: "kalau seandainya agama itu pedoman hanya akal saja maka bagian bawah khuf itu lebih utama untuk di usap daripada bagian atas, dan saya telah melihat Rosulullah mengusap bagian atas khuf".



Perkataan al imam Ali bagian bawah lebih utama untuk diusap karena memang yang terkena kotoran, akan tetapi penggunaan pendapat / akal disni ditinggalkan karena memang ada nash yang mewajibkan mengusap pada bagian atas, dan telah tetap wajib mengusap atas tanpa bawah, yang mu'tamad di dalam sebuah rukhsoh ( keringanan ) adalah dengan mengikuti nabi, maka yang wajib hanya mengusap bagian atas sedangkan bagian bawah sunnah di usap dengan yang atas karena dia mengikuti bagian atas karena keduanya memang bagian yang bersambung.



Disyaratkan agar dapat mengusap khuf

-Memakai khuf setelah suci dari dua hadats kalau memakainya sebelum membasuh kaki dalam wudhu dan membasuhnya malah didalam khuf maka tidak boleh mengusap kecuali melepasnya kedua khuf lalu memasukan kakinya lagi kedalam nya.
Kalau memasukkan salah satu khuf setelah membasuh kaki yang satu kemudian membasuh kaki yang lain lalu memasukkanya maka tidak boleh mengusap juga kecuali melepas khuf pada kaki yang pertama kemudian memakainya lagi.



-khuf itu menutupi kaki yang wajib dibasuh dalam wudhu yaitu kaki dan mata kaki dari semua sisi kecuali atas ( tidak disyaratkan menutupi bagian atas ) maka cukup khuf yang lebar sehingga terlihat kaki dari lubang tempat masuk kaki pada khuf tersebut. 


Kalau khuf nya robek pada bagian yang wajib dibasuh pada kaki maka itu tidak boleh mengusap, kalau bagian dalam khuf robek akan tetapi bagian luar nya masih kuat, begitu juga sebaliknya bagian luar robek akan tetapi bagian dalam masih kuat maka tetap bisa di usap.



-Disyaratkan khuf adalah suci maka tidak cukup najis atau terkena najis karena sholat tidak sah denganya yang itu ( sholat ) adalah maksud yang asli dari mengusap, maka selain sholat seperti menyentuh mushaf itu mengikuti sholat.


-Dapat mencegah masuk nya air ke kaki selain dari tempat jahitan seandainya khuf tersebut disiram air.


-Khuf tersebut dimungkinkan untuk dipakai oleh musafir dalam berjalan ( tanpa alas lain dibawahnya seperti sendal ) untuk memenuhi hajat nya ( cukup dibuat berjalan sekitar setengah jam ).

Jumat, 10 November 2023

Berapa Hari bisa Mengusap khuf

*_al-I'lam bi Ahaditsi al-Ahkam_ 27*

Dalil bahwa seorang musafir ( berpergian ) boleh mengusap khuf selama tiga hari tiga malam sedangkan orang yang bermukim boleh mengusap selama satu hari satu malam.


عن أبي بَكرَةَ رضي الله عنه قَال أَرخَصَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لِلمُسَافِر ثَلاثَةَ أَيَّام وَلَيَاليَهّن وللمُقِيم يَومٍا وليلةً إِذَا تَطَهَّر فَلَبِسَ خُفَّيه أَن يَمسَحَ عَلَيهِمَا رواه الدارقطني


Dari abi Bakroh semoga Allah meridhoinya berkata bahwasanya Rosulullah memberikan keringanan untuk orang yang berpergian ( boleh mengusap khuf ) selama tiga hari tiga malam, dan untuk orang yang mukim ( boleh mengusap ) sehari semalam jika sudah suci kemudian memakai khuf agar bisa mengusap nya ( dengan waktu yang telah ditentukan tersebut )

Dimualainya waktu tersebut ( tiga hari untuk musafir dan sehari untuk mukim ) dari waktu terakhir berhadast setelah memakai khuf.


seandainya waktu sudah berjalan dan belum mengusap khuf ( dan telah lewat dari waktu yang ditentukan ) maka waktu nya tetap dikatakan habis, tidak boleh mengusap khuf sehingga melepasnya dan memulai dari awal memakainya setelah bewudhu.


Seandainya mengusap khuf dalam kondisi mukim kemudian berpergian ( dengan jarak yang dibolehkan untuk mengqoshor sholat ) atau sebaliknya ( mengusap ketika kondisi berpergian lalu dia bermukim ) maka dalam dua kondisi tersebut tidak melanjutkan waktu untuk orang musafir ( berpergian ) karena mukim lebih unggul dari safar ( berpergian ) karena dia adalah asal, maka dalam kondisi pertama boleh mengusap hanya sehari semalam begitu juga dengan kondisi kedua, jika dia dalam kondisi mukim dan belum habis masa nya ( belum ada sehari semalam ) kalau sudah ada sehari semalam maka wajib mencopot khuf.



Adapun yang boleh mengusap khuf pada waktu yang telah ditentukan tersebut adalah kepada selain orang yang selalu berhadast dan orang yang bertayamum bukan karena tidak menemukan air, adapun keduanya boleh mengusap khuf pada sholat sholat yang dibolehkan baginya seandainya masih dalam kondisi suci yang ketika memakai khuf yaitu satu fardhu dan sunnah sunnah, atau sunnah sunnah saja jika hadast nya setelah menunaikan fardhu, maka tidak mengusap kecuali untuk hal yang sunnah sunnah saja, karena mengusapnya itu berkaitan dengan kesucianya, dan ia tidak memberikan faidah kecuali hal tersebut, kalau seandainya keduanya ingin menuanaikan fardhu ( kewajiban ) yang lain maka wajib melepas khuf dan berwudhu secara sempurna, karena ia dihukumi berhadast jika dinisbatkan kepada yang lebih dari satu fardhu dan sunnah sunnah, maka dia benar benar seperti orang yang memakai khuf dalam keadaan hadats.


Adapun kalau orang yang tayamum karena tidak mendapati air maka tidak boleh mengusap ketika menemukan air, karena keadaan sucinya dikarenakan darurat ( tidak mendapati air ) dan telah hilang kondisi sucinya dengan hilang nya darurat tersebut ( ketika menemukan air ), begitu juga orang yang terus barhadats dan yang bertaymum bukan karena tidak menumukan air maka tidak mengusap ketika sudah hilang udzurnya.

Kamis, 09 November 2023

mengusap khuf

*_al-I'lam bi Ahaditsi al-Ahkam_ 26*

Dalil diperbolehkanya mengusap khuf ( dalam wudhu ) baik dalam kondisi berpergian atau tidak.

عن المغيرة بن شعبة رضي الله عنه قال كنتُ مَعَ النَّبِي صلى الله عليه وسلم فَتَوَضَّأَ فَأَهوَيتُ لأَنزِعَ خُفَّيهِ فقال دَعْهُما فَإِنّي أَدخَلتُهُمَا طَاهِرتَين فَمسَحَ عَليهِمَا رواه الشيخان 

Dari al Mughiroh ibni Syu'bah berkata: "saya bersama nabi beliau berwudhu kemudian saya mengulurkan tangan untuk melepaskan dua khuf nya lalu rosul bersabda jangan dilepaskan karena saya memasukkan dua kaki ku ( di khuf ini ) dalam kondisi suci ( sudah berwudhu )".

Hadits ini menunjukan bolehnya mengusap dua khuf dan kebolehan ini secara ijma' dalam kondisi berpergian atau tidak walaupun tanpa keperluan.


Telah meriwayatkan mengusap khuf banyak dari para sahabat akan tetapi membasuh dua kaki lebih utama karena itu adalah asal ( الأصل ).


Akan tetapi jika orang yang memakainya ( khuf ) sedang berhadats kemudian memiliki air hanya cukup untuk mengusap khuf maka dalam kondisi ini mengusap hukumnya wajib seperti halnya yang dituturkan oleh al Imam ar Ruyani.


Juga disunnahkan mengusap ( mengusap khuf lebih utama dari membasuh kaki ) dibeberapa kondisi :

-bagi orang yang merasa keberatan untuk mengusap khuf karena belum terbiasa maka dalam rangka untuk mendidik dirinya terhadap hal yang diberbolehkan dalam agama maka mengusap sunnah baginya ini makna perktaan para ulama dalam kitab fiqih ترك المسح رغبة عن السنة 


-bagi seoarang mujtahid yang tahu bahwa mengusap khuf itu boleh akan tetapi ada sebuah syubhah dalam dirinya tentang kebolehan mengusap maka pada kondisi ini mengusap baginya sunnah, ini makna perkataan ulama ترك المسح شكا في جوازه
Berarti bukan makna perkataan tersebut bahwa orang yang mengusap tidak tahu bahwa mengusap dalam syareat boleh apa tidak, karena orang yang bodoh tentang ini tidak sah ketika dia mengusap khuf.
Adapun dalam permasalahan ini kita contoh kan mujtahid karena muqollid ( pengikut mujtahid ) tidak memiliki keahlian dalam melihat dalil.


-bagi seseorang yang takut ketinggalan jamaah sholat, takut ketinggalan wuquf di Arofah atau takut ketinggalan dalam membebaskan tawanan perang dari musuh ( orang kafir ) maka ini disunnahkan mengusap bahkan dalam kondisi takut ketinggalan wuquf dan takut tidak bisa meyelamatkan tawanan ini hukum nya wajib mengusap karena tidak ada penggantinya jika sudah terlewatkan atau ada penggantinya tapi didapati dengan susah payah.


Dalam hadits ini menjadi dalil juga disyaratkanya dua kaki dalam kondisi suci untuk bisa dipakai dua khuf tersebut sehingga tidak cukup membasuh satu kaki dalam wudhu lalu memasukanya kedalam khuf kemudian membasuh yang kaki sebelah nya dan memasukanya kedalam khuf.


Mengusap tidak cukup kecuali bagian atas khuf, dan tidak boleh menggabungkan antara membasuh kaki dan mengusap khuf seperti dengan membasuh salah satu kaki kemudian mengusap khuf pada kaki yang lain.

Rabu, 08 November 2023

disunahkanya wudhu dengan air ukuran satu mud dan mandi dengan empat mud.

*_al-I'lam bi Ahaditsi al-Ahkam_ 25*

Dalil disunahkanya wudhu dengan air ukuran satu mud dan mandi dengan empat mud.

عن أنس رضي الله عنه كان النبي صلى الله عليه وسلم يَتَوَضَّأُ بِالمُدّ وَيِغتَسِلُ بِالصَّاع إِلَى خَمسَةِ أَمدَاد رواه الشيخان 
Dari sahabat Anas beliau berkata bahwasanya Rosulullah berwudhu dengan ukuran satu mud dan mandi dengan dengan satu sho' ( empat mud ) sampai lima mud.


Dzhohir dari hadits ini adalah disunnahkan untuk membatasi dengan satu mud dan satu sho' , ( sebagian ulama menjelaskan bahwa nabi secara kebiasaan memang seperti itu tapi sebagian ulama yang lain mengatakan tidak seperti itu ).


Dzhohir pendapat al imam as Syafi'i dan para ashabul wujuh disunnahkan air wudhu tidak kurang dari satu mud dan untuk mandi tidak kurang dari satu sho' maka pendapat tersebut lebih umum dari yang disebutkan ( dari dzhohir hadits tersebut ).


Kalau berwudhu sampai enam mud itu tidak menyalahi sunnah sedangkan lebih dari itu dengan tambahan yang sangat banyak maka tidak diterima wudhu nya ( bukan berarti tidak sah ).


Al imam an Nawawi dan ar Rofi'i menjelaskan bahwa ukuran satu mud dan sho' adalah secara perkiraan saja bukan sebuah hal yang pasti harus dengan satu mud atau satu sho' .



Para ulama telah sepakat bahwa air yang digunakan dalam wudhu dan mandi tidak disyaratkan ukuran tertentu bahkan kalau sudah merata keseluruh anggota wudhu atau seluruh tubuh ( dalam mandi ) maka hal tersebut dianggap cukup berapapun ukuran air yang digunakan.


Ukuran satu mud adalah dua cangkupan tangan dengan ukuran tangan yang sedang, sedangkan satu sho' itu ukuran empat mud.


Al imam as Syafi'i mengatakan : "terkadang pemakaian air yang sedikit dan itu sudah cukup, sebaliknya pemakaian air yang banyak ( boros ) malah tidak cukup".


Ijma' telah menunjukan bolehnya kurang dari sho' dan mud, juga hadits rosul yang diriwayatkan oleh al imam Muslim dari Aisyah
كنت أغتسل أنا والنبي صلى الله عليه وسلم من إناء واحد يسع ثلاثة أمداد او قريبا من ذلك

Hadits ini menunjukan bahwa nabi dan asiyah mandi dari wadah satu yang cukup untuk tiga mud atau kurang lebih seperti itu.


Begitu juga ditunjukan dengan hadits an Nasa'i dari ummi Ummaroh al anshoriyyah berkata bahwa Rosulullah wudhu denga wadah seukuran sepetiga mud.


Catatan : dimakruhkan isrof ( berlebihan dalam menggunakan air dalam wudhu dan mandi ) walaupun ia di pinggir laut ( di pantai), dikatakan juga bahwa hal tersebut hukum nya harom.


Sudah jelas jika al isrof dengan air masjid yang diwaqofkan maka hukum nya harom.

Senin, 06 November 2023

Dalil diwajibkanya tartib dalam berwudhu

*_al-I'lam bi Ahaditsi al-Ahkam_ 24*

Dalil diwajibkanya tartib dalam berwudhu

عن أبي عبد الله جابر بن عبد الله قال قال النبي صلى الله عليه وسلم ابدَؤُوا بِمَا بَدَأ اللهُ بِه رواه النسائي

Dari Jabir bin Abdillah berkata bahwasanya Rosulullah bersabda mulailah dari apa yang Allah mulai denganya 


Hadist ini sebagai dalil wajib nya tartib dalam berwudhu

Lafadz ما pada hadits diatas adalah umum maka tetap dimakanai umum sebagaimana lafdz nya.


Al imam Romli berkata ( dalam mengambil dalil terhadap wajib nya tartib ) : " wajib tartib karena rosul tidak berwudhu kecuali secara tartib, kalau seandainya tidak wajib maka rosul akan meninggalkan nya dalam suatu waktu, atau menjelaskannya bahwa perkara tersebut adalah boleh bukan wajib, juga berdasarkan hadits shohih ابدؤوا بما بدأ الله به yang mencakup wudhu walaupun hadist ini disabdakan rosul didalam haji, maka yang dijadikan pedoman adalah umumnya lafdz, kemudian dikarenakan Allah dalam al qur'an menyebutkan mengusap kepala diantara dua anggota yang dibasuh yaitu wajah dan dua tangan, dan memisahkan dua hal yang sejenis ( dalam hal ini dua anggota yang dibasuh ) tidak dilakukan dalam bahasa arab kecuali dengan sesuatu yang mengandung faidah dan pada hal ini menunjukan wajibnya tartib, dengan dalil adanya perintah terhadap hal tersebut, karena orang arab kalau menyebutkan sesuatu yang diathofkan memulai dari yang paling dekat kemudian yang dekat darinya, adapun kalau disebutkan wajah lalu tangan kemudian kepala lalu kaki ini menunjukan wajib nya tartib, kalau tidak wajib tartib maka akan disebutkan ( dari yang terdekat kemudian dekatnya lagi ) membasuh wajah kemudian kepala kemudian tangan kemudian kaki, karena hadits yang sangat banyak memang menunjukan wajib nya tartib dan ayat memang menjelaskan yang wajib dalam wudhu".

Minggu, 05 November 2023

Wajib mengusap kepala

*_al-I'lam bi Ahaditsi al-Ahkam_ 23*

Dalil yang wajib diusap dari kepala adalah sebagian saja ( bagian dari kepala ) bukan seluruh nya.


عن المُغِيرَةِ ابنِ شُعبَة أَنَّ النَّبِيَّ تَوَضَّأَ فَمَسَح بِنَاصِيَتِه وَعَلَى العِمَامَة رواه مسلم

Dari al Mughiroh ibn Syu'bah berkata bahwasanya Rosulullah berwudhu dan mengusap bagian depan dari kepala nya, dan mengusap sorban nya.


Ini adalah dalil yang menunjukan cukupnya mengusap sebagian kepala dan tidak harus mengusap seluruhnya, karena jika wajib seluruh kepala mengapa rosul mencukupkan mengusap sorbanya dari sisa bagian kepala ( yang belum diusap ), karena mengumpulkan asal ( الاصل ) dan pengganti ( البدل ) di anggota yang satu tidak boleh ( kalau seandainya yang wajib mengusap seluruh kepala maka nabi akan mengusap seluruh kepala atau mengusap seluruh sorbanya ) seperti tidak bolehnya mengusap khuf pada satu kaki akan tetapi membasuh kaki yang lainya.



Disunnahkan untuk menyempurnakan ( mengusap kepala ) dengan mengusap sorban ( dari bagian kepala yang belum terusap ) agar sempurna thoharoh nya di seluruh bagian kepala baik dalam kondisi sulit mencopot sorban tersebut dari kepala ataupun tidak, juga baik memakai sorban tersebut dalam kondisi suci ( sudah berwudhu ) ataupun tidak.



Kalau seandainya mencukupkan mengusap sorban saja tanpa mengusap kepala maka hal ini tidak diperbolehkan, berdasarkan firman Allah وامسحوا برؤوسكم
sorban bukanlah kepala, dan kepala adalah bagian anggota wudhu yang sucinya dengan diusap, maka tidak boleh mengusap penghalang tanpa mengusap kepala.



Didalam hadist disebutkan kepala dengan memakai huruf ba' بناصيته sedangkan pada sorban memakai huruf على ini adalah sebagai isyaroh untuk sesuai dengan ayat yang menunjukan bahwa mengusap sebagian kepala itu dianggap cukup, dan kata الرأس ( kepala ) merupakan isim jins ( bisa diucapkan untuk seluruh kepala atau sebagian / bisa diucapkan untuk sedikit atau banyak ), sedangkan kata على ناصيته itu merupakan isyaroh bahwa telah dianggap menyempurnakan usapan seluruh kepala, dengan ( menyempurnakan ) mengusap diatas sorban.


Seperti sorban pada hadits diatas adalah peci dan kerudung bagi perempuan.

Sabtu, 04 November 2023

Mendahulukan Bagian Kanan dalam hal kebaikan barunyang kiri.

*_al-I'lam bi Ahaditsi al-Ahkam_ 22*

Dalil disunnahkan mendahulukan bagian kanan dalam hal yang memiliki nilai kemulyaan dan keindahan seperti masuk masjid 


 عن عائشة رضي الله عنها قالت كان النبي صلى الله عليه وسلم يُعجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِه وَتَرُّجُّلِه وَطُهُورِه وَفِي شَأنِه كُلِّه رواه الشيخان

Dari Aisyah semoga Allah meridhoinya berkata bahwasanya Rosulullah menyukai untuk melakukan sesuatu dengan bagian kanan nya dalam memakai sendal, menyisir rambut, bersuci dan seluruh hal yang memiliki nilai kemuliaan dan keindahan.


Segala hal yang mmiliki nilai kemuliaan seperti memakai baju, celana, khuf, masuk ke dalam masjid, keluar dari kamar kecil, memotong kuku, memakai cincin dan bersiwak ( ketika bersiwak memulai dengan bagian kanan dari mulut dan memegangi siwak dengan tangan kanan nya ), karena itu adalah karena kemulyaan bagian kanan maka dikhususkan dengan berbagai kebaikan, juga karena kanan diharapkan untuk mengambil kitab di hari kiamat maka didahululan dalam perbuatan-perbuatan yang baik.


Adapun kalau tidak dalam rangka kemulyaan dan keindahan seperti masuk kamar kecil, keluar dari masjid, istinjak, melepas baju dan sendal maka dimulai dengan bagian kiri, adapun dimulai dengan tangan kiri karena hal itu sesuai dengan perbuatan tersebut juga berdasarkan hadits rosul dari Aisyah 
كان رسول الله يجعل يمينه لطعامه وشرابه ويجعل يساره لما سوى ذلك 
Rosulullah menjadikan bagian tangan kanan untuk makanan dan minuman, sedangkan selainya ( yang tidak dalam rangka memulyakan dan keindahan ) maka menjadikanya dengan tangan kiri.


Kalau seandainya dibalik, dengan membasuh duluan bagian kiri dalam wudhu kemudian baru bagian kanan maka wudhu nya tetap sah, akan tetapi hal ini dimkaruhkan, karena adanya pelarangan tentang hal tersebut dalam hadits yang diriwayatkan ibnu Hibban, akan tetapi pelarangan tersebut bermakna makruh bukan haram berdasarkan ijma' yang menunjukan hal tersebut seperti halnya tidak dimaknai wajib ( karena ijma' ini ) dalam perintah mendahulukan bagian kanan dalam hadist 
إذا توضأتم ابدؤوا بميامنكم
Jika kalian berwudhu maka dahulukanlah bagian kanan.


Dikecualikan pendahuluan bagian kanan dalam beberapa hal seperti dua pipi, dua mata, dua telinga dan dua telapak tangan maka tidak disunnahkan untuk mendahulukan bagian yang kanan akan tetapi dibasuh secara bersama sama kecuali kalau dalam kondisi memiliki tangan satu maka tetap disunahkan untuk mendahulukan membasuh yang kanan pada bagian bagian tersebut. 



Faidah : kalau senadainya ingin keluar dari masjid dan memakai sendal maka keluar dari masjid dengan kaki kiri nya lalu meletakkannya diatas sendal nya yang kiri tanpa menggunakanya, kemudian keluar dengan kaki kanan dan memakai sendalnya yang bagian kanan, kemudian memakai sendal yang bagian kiri.


Disunnahkan ketika seseoarang menguap untuk menutupinya, lalu apakah menggunakan tangan kanan seperti dalam memakai sendal atau tangan kiri seperti halnya ketika istinjak, ada dua kemungkinan menurut al Muhib at Thobari lalu beliau mengatakan yang lebih cocok adalah dengan tangan kiri nya.